We Want JUSTICE

KAMTRI

Jumat, 16 Oktober 2009

SKB empat Menteri benar-benar Neoliberal

Oleh: RUDI HARTONO

Krisis financial, yang dengan seketika, telah menyapu ekonomi dunia dan menyeretnya kedalam sebuah “resesi”, setidaknya paling mengerikan sejak great depression 1930-an. Krisisi yang berakar jauh dibawah problem mendasar system kapitalisme, telah membawa mayoritas manusia di bumi dalam kemiskinan dan beban ekonomi yang terlampau berat, terutama kaum pekerja dan masyarakat miskin negara selatan.

Di Indonesia, respon pemerintah terhadap krisis tidak mencerminkan kepentingan mayoritas rakyat. Beberapa langkah penyelamatan ekonomi SBY, bukannya membentengi kepentingan nasional dari gempuran krisi, tapi malah mengalihkan beban krisis di AS ke pundak rakyat miskin Indonesia, termasuk kaum pekerja. Salah satu sektor yang paling terancam dan mengkhawatirkan adalah industri nasional, yang begitu bergantung kepada ekspor dan investasi dari luar.

Solusi Neoliberal
Setelah puluhan tahun institusi kekuangan asing mengontrol makro-ekonomi Indonesia, setidaknya dalam bentuk deregulasi yang dipraktekkan pemerintah Indonesia, kini mereka kembali membimbing pemerintah menjalankan scenario penyelamatan ekonomi yang sesuai dengan kehendak AS dan lembaga keuangan tersebut. Di sektor industri, pemerintah mencoba mempertemukan kehendak investor asing dengan kekhawatiran pengusaha nasional, dengan mengalihkan beban krisis kepada kaum pekerja, dengan menerbitkan SKB 4 Menteri. Kebijakan baru ini, akan menciptakan kelenturan terhadap negosiasi upah dan keleluasaan bagi pengusaha untuk menerapkan upah murah, tanpa campur tangan negara lain.

Pemerintah mau menegaskan, bahwa negara “lepas tangan” terhadap persoalan perburuhan, sebagai harga yang harus dibayarkan untuk keberlanjutan industri nasional. Fikiran pemerintah ini, yang sayangnya didukung secara naïf oleh sejumlah SB/SP besar, memindahkan kegagalan pemerintah dalam memicu industri nasional, kepada mekanisme “kelenturan” pasar tenaga kerja, sebagai salah satu cara keberlangjutan industri.

Lantas, dengan cara itu, pemerintah yakin bahwa keberlansungan industri dibawah kendali pengusaha, dengan menerapkan pola akumulasi primitif, dapat membawa industri nasional tetap survive hingga krisis berakhir. Pendeknya, pemerintah ingin industri nasional tetap bertahan melalui liberalisasi pasar tenaga kerja, menyerahkan kesejahteraan pekerja pada mekanisme pasar.

Kebijakan Ngawur
SKB empat menteri bukannya membimbing industri nasional tetap “survive”, malahan akan mempercepat ajalnya. Hasilnya sudah bisa ditebak, akan terjadi penurupan upah yang cukup signifikan, kemudian menjatuhkan daya beli masyarakat secara umum, yang akhirnya meruntuhkan ekonomi secara umum.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sehubungan dengan SKB empat menteri ini. Pertama, dalam hal negosiasi, seharusnya dipertimbangkan soal equal playing field antara pengusaha dengan pekerja. Di manapun, termasuk di negara industri maju, pengusaha dan pekerja tidak dalam posisi seimbang dalam bernegosiasi. Energi tambahan bagi buruh bernegosiasi adalah organisasi, pemogokan, dan aksi massa, tapi hal –hal tersebut selamanya direfresi oleh pemerintah dan pengusaha.

Data yang dikeluarkan FES, pada tahun 2002, menunjukkan, jumlah buruh yang menjadi anggota serikat baru mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Dengan persentasi buruh berorganisasi yang begitu kecil, belum mempertanyakan konsistensi serikat buruhnya, sudah dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum buruh berada di dalam mulut singa, ketika bernegosiasi dengan pengusaha.

serikat buruh/SP berada dalam posisi lemah, terutama akhir-akhir ini, setelah beberapa kali perjuangan ekonomi dan perjuangan politik mengalami kekalahan. Gerakan buruh benar-benar berada di situasi industrial yang begitu pelit, yang tidak memberikan konsesi dan kompromi dalam ukuran minimal sekalipun.

Kedua, Serikat Buruh (SB/SP) yang punya porsi dalam lembaga tri-partit, dan sedikit mendapat pengakuan didepan pengusaha, adalah SB/SP yang masih kuat terkontaminasi oleh konsep hubungan industrial pancasila (HIP) orde baru. SB/SP ini, dalam beberapa kasus, ketika mewakili anggotanya yang terlibat dalam perselisihan industrial, tidak segan untuk berkompromi dengan pengusaha dan mengkhianati anggotanya. SB/SP tersebut sudah lama ter-aristokrasi.

Ketiga, upah pekerja selalu menjadi komponen dari biaya produksi yang selalu ditekan, padahal komponen upah hanya menyumbang 8% sampai 10% biaya produksi. Sementara biaya produksi terbesar adalah pungutan liar dan perizinan yang mencapai 35% hingga 40%. Seharusnya pemerintah serius memberantas pungli dan perizinan, sebagai salah satu jalan melepaskan beban industri nasional.

jika dalam kebijakan upah minimum saja, yang juga dikontrol oleh pemerintah, pengusaha banyak yang tidak mengindahkan kebijakan upah minimum, maka bagaimana dengan mekanisme bipartit. Sudah bisa ditebak hasilnya; pengusaha akan cenderung menekan upah, meskipun perusahaan dalam kondisi cukup membaik, karena yang membimbing pengusaha adalah pemujaan terhadap akumulasi profit.

Solusi Anti-Neoliberal
Industri dalam negeri, jauh sebelum krisis financial, telah cukup menderita akibat kebijakan neoliberalisme. Liberalisasi ekonomi yang berjalan cukup cepat, telah menurunkan kemampuan industri nasional, dan membawa pangsa pasar domestik dikuasai oleh asing. Sebelumnya, pemerintah SBY pun menyerang industri dalam negeri, dengan menaikkan harga BBM, tingginya bunga dan sulitnya akses kredit, pungli dan korupsi, dan pemadaman listrik bergilir.

Jadi, penyakitnya sebenarnya bersumber pada kebijakan ekonomi neoliberal, yang diyakini oleh pemerintah dan tim ekonominya hingga sekarang. Sumber penyakit ini, yang dengan kiprahnya secara global sedang runtuh, memerlukan keberanian politik dari pemerintah untuk merumuskan langkah-langkah konkret, sebagai perisasi baja terhadap ekonomi nasional.

Menurut saya, ada beberapa langkah alternatif terhadap SKB 4 Menteri yang sepatutnya dilakukan pemerintah, untuk mengeluarkan ekonomi nasional dari kerentanan dipukul oleh krisis, antara lain; pertama, memberikan kelonggaran terhadap industri nasional, terutama dari jepitan neoliberal, dengan melakukan proteksi dan jaminan pasar terhadap produksi dalam negeri.

Kedua, memberikan jaminan pasokan energi yang murah kepada industri. Ini meliputi BBM, gas, batubara, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya untuk industri. Kebijakan liberalisasi sektor energi harus dicabut, termasuk orientasi ekspor migas harus dihentikan dan diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan domestik.

Ketiga, memberantas korupsi, pungli dan pola pezinan yang birokratis yang sudah lama menggerogoti industri nasional. Insider trading/brokerisasi di BUMN harus dibersihkan.

Keempat
, menaikakkan upah pekerja secara nasional, dengan upah minimum nasional (UMN) sebesar Rp. 1,2 juta (berdasarkan survey FNPBI), untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Kelima, memicu industrialisasi nasional, dengan bertumpu pada sektor pertanian sebagai dasar dan industrialisasi sebagai arah. memberikan insentif bagi perusahaan industri yang berorientasi ekspor, berupa penghapusan tariff ekspor dan peningkatan tariff impor barang sejenis.

keenam, menghentikan privatisasi terhadap seluruh perusahaan milik negara, dan mulai memperluas perusahaan layanan sosial, untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

Solusi-solusi diatas, seperti juga tawaran program-program kami sebelumnya, tidak akan murni berjalan jika tidak ada usaha memutar-haluan ekonomi yang sebelumnya mengikuti jalan neoliberalisme, untuk lebih berdikari, mandiri, dan memenuhi kebutuhan rakyat.

Tidak ada komentar: