We Want JUSTICE

KAMTRI

Selasa, 20 Oktober 2009

Kebijakan Perburuhan Semakin Tereduksi

Oleh :Firman Rendi Sutansah
Edited By: Aristo Malawat 
 

Sejak Soeharto tumbang 11 tahun yang lalu, keadaan buruh di Indonesia malah semakin memburuk. Mulai awal reformasi negara ini telah dipimpin oleh 4 pemimpin negara yang berbeda-beda. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk perburuhan semakin membuat posisi buruh tidak mempunyai posisi tawar di mata kaum kapitalis atau pemodal.
Tengok saja hasil kebijakannya :
Presiden
 Kebijakan Perburuhan
 Partai Pendukung di DPR RI   
     
Gus Dur
 Membuat kebijakan KEPMEN 77/78, tentang penurunan nilai Pesangon dan Penghilangan Uang Penghargaan
 PKB, PDIP, PPP 
     
Megawati
 
  1. Mengesahkan UUK 13/2003 (Sistem Kerja Kontrak dan outsourcing)
  2. Mengesahkan UU PPHI 2/2004 (Pengadilan Hubungan Industrial)
 Semua partai politik di antaranya : PDIP, Golkar, PKS, PKB, PAN, PPP
     
Susilo Bambang Yudhoyono
 
  1. Rencana Revisi UUK 13/2003
  2. Pengesahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) no.25/2007
  3. Rencana Peraturan Pesangon
  4. SKB 5 Menteri tentang listrik
  5. KB/PB 4 menteri tentang kenaikan upah tidak boleh lebih dari 6%
  6. JPS keuangan membantu modal pengusaha karena krisis
 Partai  Demokrat, PKS, PAN, Golkar, PPP dan partai-partai lainnya
Dari semua kebijakan yang terpampang di atas, jelas bahwa corak pemerintahan yang sedang berlangsung di Indonesia mengarah pada fleksibilitas pasar kerja, alias anti perlindungan terhadap buruh. Paham para pemimpin kita jelas-jelas mengarah pada neoliberalisme dengan tuannya kapitalisme, walaupun ada beberapa pemimpin ini yang menggeram kepada tuannya karena tidak diberi tulang yang cukup dan menggunakan sentimen-sentimen nasionalisme dan kerakyatan untuk mengancam tuan imperialis mereka.
Sejak badai besar krisis memporakporandakan bangunan sistem perekonomian kapitalis, ramai-ramai partai politik di Indonesia menyerukan ekonomi kerakyatan. Hal ini jelas- jelas pembohongan terbesar terhadap publik. Mereka lupa, orang-orang yang mereka tempatkan di parlemen dan pemerintahan  maupun duduk di pemerintahan mereka tidak berbuat apa-apa. Yang terjadi malah menyetujui kebijakan-kebijakan yang merugikan buruh dan rakyat. Mereka tidak pernah mentelaah kebijakan tersebut secara mendalam mengenai resiko-resiko yang merugikan rakyat.
Mereka malah sibuk dengan korupsi dan bagi ”hasil” dari proyek-proyek pemerintahan. Para elite politik sibuk menyakinkan para pemodal dari pada rakyatnya sendiri. Mereka merayu para investor agar mau menanamkan modalnya di negeri ini dengan memberikan stimulus kebijakan pemangkasan birokrasi bahkan melenturkan kebijakan pasar tenaga kerja. Dengan fleksibilitas tenaga kerja, jelas mengorbankan kaum buruh. Mereka dengan sengaja menjual buruh Indonesia dengan slogan Upah Murah.

Pemerintah Daerah
Semenjak pemberlakuan otonomi daerah, wajah pemerintahan kita semakin menunjukkan ketidak becusan dalam mengurusi rakyatnya. Itu tergambar jelas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang tidak bisa memproteksi rakyat miskin. Pemerintahan daerah semakin hari semakin sibuk dengan upaya pencitraan daerahnya masing-masing sebagai daerah yang ramah terhadap investor. Otonomi daerah digunakan hanya untuk menciptakan penguasa-penguasa lokal. Harapan rakyat akan perbaikan kesejahteraan melalui otonomi daerah pupus. Otonomi daerah di bawah basis kapitalisme hanya selalu berarti kebebasan bagi para penguasa lokal untuk berebut jarahan. Seperti halnya kemandirian bangsa yang ditawarkan oleh para elit politik hanyalah akan berarti kebebasan bagi para penguasa modal domestik untuk mencabik-cabik rakyat pekerja.
Dalam hal ini jelas yang dirugikan adalah masyarakat kecil khususnya  kaum buruh. Tak satu pun daerah di Indonesia yang bisa mengeluarkan peraturan daerah yang melindungi buruh. Dengan dalih tidak ada pegangan dalam membuat peraturan daerah tersebut. Ini sebuah kebohongan yang disengaja oleh eksekutif daerah. Sebenarnya, kalau mereka mengerti dan memahami undang-undang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat, mereka bisa dengan mudah membuat peraturan-peraturan daerah yang melindungi buruh. Bisa dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 tentang perlindungan dan kesempatan, jaminan dalam memperoleh pekerjaan yang layak sampai dengan undang-undang nomor 13 tahun 2003 yang mengatur sistem perburuhan.
Di sinilah sekarang serikat buruh harus bisa 'memaksa' pemerintahan daerah agar membuat kebijakan perlindungan bagi buruh. Di samping kita bisa menakar kekuatan kekuatan buruh di tingkatan lokal, kita juga bisa belajar dalam pengorganisiran kaum buruh agar lebih solid. Dengan memasukkan pendidikan politik buruh, kita kaum buruh harus bisa maju menjadi pemimpin. Buruh jangan hanya diam saja dan berharap banyak pada kaum demokrat-reformis. Mereka hanya memanfaatkan massa pergerakan yang tidak terorganisir. Sudah saatnya kaum buruh mempunyai partai sendiri. Sebuah partai revolusioner. Sebuah partai yang murni berbasiskan pergerakan massa.
Firman Rendi Sutansah, aktivis Hands off Venezuela, kontributor Mediabersama.com

Tidak ada komentar: