We Want JUSTICE

KAMTRI

Selasa, 27 Oktober 2009

Urantia, Buku Misterius


Buku Urantia bagi penganutnya dipercaya bukan dibuat oleh manusia. Penulisnya
adalah sebuah tim gabungan terdiri dari beberapa puluh pribadi roh dan malaikat.
Tim ini dipimpin seorang Konselor Ilahi dari ibukota alam semesta super
manusia.


Tebal buku ini 2097 halaman dalam bahasa Inggris. Terdiri dari 196 paper atau
makalah. Ada pribadi roh yang menulis satu, dua, atau lebih paper.
Sepertiga buku ini, sekitar 770 halaman ditulis oleh satu tim makhluk-tengah (midwayers).
Di bahasa Indonesia sulit dicari padanan katanya.
Ketika menyebut midwayers sebagai jin, banyak yang protes, jadi digunakanistilah
makhluk-tengah (antara manusia dan malaikat). Tulisan para makhluk tengah ini
adalah catatan riwayat hidup Yesus ketika hidup di dunia, yang konon dianggap
jauh lebih lengkap dan urut daripada kitab Injil.
Sumber data utamanya adalah ingatan manusia yang menyaksikan, kemudian makhluk-tengah
yang juga menyaksikan, dan terakhir sebagian kecil adalah dari alam roh. Mereka
percaya bahwa pemerintahan alam semesta merekam setiap peristiwa, bahkan setiap
pikiran manusia bernilai kekekalan.
Urantia Book diwahyukan pada tahun 1934-1939 di Chicago, 533 Diversey Parkway,
USA. Penerimanyaadalah sebuah forum, sekelompok orang sekitar 30 orang
terpelajar, dan disampaikan dengan bantuan seorang makhluk-tengah. Paper demi
paper disampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan Forum itu.
Teks aslinya masih disimpan, dan setelah diedit dan diketik, diterbitkan tahun
1955. Penulisan ini tidak lepas dari keberadaan seorang dokter ahli bedah dan
psikiatri yang bernama Dr. William S. Sadler (1875-1969) serta istrinya Dr. Lena
Sadler.
Mereka percaya bahwa Buku Urantia bukan ditulis oleh manusia, walaupun kemudian
diketik dan diterbitkan manusia.
Teks aslinya adalah tulisan tangan, masih utuh tersimpan di kantor pusat Urantia
Foundation di Diversey Parkway 533, Chicago.
Istilah atau nama Urantia adalah cara mereka menyebut nama planet bumi kita ini.
Menurut apa yang tertulis di dalam buku Urantia tersebut, ada banyak galaksi dan
planet yang didiami. Jumlah total planet didiami tidak kurang dari 7 Trilyun
planet.
Bahkan ada satu ras makhluk yang tidak bernafas (non breathers) yang tinggal
dekat sekali dengan Bumi (inhabits a sphere in close proximity to Urantia).
Diduga mereka berada di Bulan atau planet lain yang berdekatan dengan Bumi -
Mars atau Venus.
Selain itu, informasi teknologi yang disampaikan oleh makhluk roh lewat buku
Urantia itu menyebutkan bahwa ada partikel yang lebih kecil dari elektron, yaitu
ultimaton. Alam semesta berasal dari ledakan besar pertama yang dilakukan oleh
Master Force Organizers yang diutus Tuhan.
Mengenai asal usul Tata Surya, planet-planet terbentuk karena lewatnya sistem
dark-matter Angona dekat Matahari, yang menyebabkan tersedotnya sebagian massa
Matahari membentuk planet-planet yang jumlahnya 12.
Planet nomor 5 antara Mars dan Jupiter hancur akibat mengorbit terlalu dekat ke
Jupiter. Sementara bulan sebenarnya adalah sebuah planet yang ‘ditangkap’ oleh
Bumi.
Pada mulanya, Bumi setelah terbentuk dan memadat, diselimuti air, setelah itu
barulah muncul daratan tunggal, yang kemudian terpecah menjadi beberapa benua.
Manusia berevolusi dari tumbuhan primitif, hewan, dinosaurus, mammalia, monyet,
manusia purba. Tumbuhan pertama itu adalah rekayasa genetik buatan para Life
Carrier yang diutus dari pemerintah Local System.
Manusia hasil evolusi terdiri dari ras merah (indian), kuning (cina), biru (eropa),
indigo (negro), hijau, dan orange.
Belakangan ditambah oleh ras ungu (Adam) yang bukan asli Bumi. Ras ungu paling
banyak bercampur di Timur Tengah dan dengan ras biru (Eropa-Amerika) serta Cina
Utara.
Keturunan mereka paling unggul dari genetik : ketahanan fisik, keberanian,
kepandaian dan spiritual.
Lebih jauh lagi, diungkapkan bahwa manusia bisa menempuh perjalanan luar angkasa,
dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya, menggunakan kendaraan malaikat
serafim (enseraphimed).
Dalam pelaksanaannya, manusia ‘dibungkus’ dan dibawa dalam kondisi tidur.
Paper 23, halaman 260 menyebutkan bahwa batas maksimum metode serafim ini adalah
558.840 mil per detik dan kecepatan rata-ratanya adalah 550.000 mil per detik.
Selain ituSolitary Messenger dan Gravity Messenger bisa melesat jauh lebih cepat
lagi.



Last edited by havana

Sabtu, 24 Oktober 2009

Peristiwa Agustus menuju proklamasi kemerdekaan Indonesia

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia - Latar Belakang

6 Agustus 1945

Sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat. Bom ini memang sebetulnya langsung mematikan banyak orang . Namun , setelah itu , korban yaang selamat kekurangan air . Air yang turun dari hujan yang mengandung radioaktif yang berasal dari ledakan bom nuklir Little Boy diminum oleh para korban yang selamat . Air ini yang kemudian diminum oleh rakyat jepang , yang berwarna hitam dan menyebabkan ribuan korban meninggal karena meminum air ini dan kadar leukositnya hilang dan menyebabkan rusaknya anggota tubuh , pendarahan yang tidak berhenti , dan rambut yang rontok ketika dipegang . AS sendiri tidak memperkirakan bahwa bom atom yang dijatuhkannya bisa berdampak seperti ini .

7 Agustus 1945

BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

9 Agustus 1945

Bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki dan akhirnya menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

10 Agustus 1945

Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.

12 Agustus 1945

Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

14 Agustus 1945

Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

15 Agustus 1945

Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Sutan Sjahrir, salah satu tokoh pemuda mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.

16 Agustus 1945

Gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarnodan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka langsung menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 (sekarang gedung perpustakaan Nasional-Depdiknas) yang diperkirakan aman dari Jepang. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak

rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Yamamoto dan Laksamana Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, komandan Angkatan Darat pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda dengan sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Setelah itu mereka bermalam di kediaman Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) untuk melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Rapat dihadiri oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.

Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang.

Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat ”atas nama Bangsa Indonesia” Soekarno-Hatta.

17 Agustus 1945

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.

Naskah asli proklamasi

Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional dengan bingkai

18 Agustus 1945

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih secara aklamasi oleh PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Isi Teks Proklamasi

Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta



Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

Naskah Otentik

Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Sementara naskah yang sebenarnya hasil gubahan Muh.Hatta, A.Soebardjo, dan dibantu oleh Ir.Soekarno sebagai pencatat. Adapun bunyi teks naskah otentik itu sebagai berikut:

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, 17 - 8 - '45


Wakil2 bangsa Indonesia.

Peringatan 17 Agustus 1945

Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.
Lomba-lomba tradisional

* Panjat pinang
* Tarik tambang
* Sepeda lambat
* Makan kerupuk
* Balap karung
* Perang bantal


Peringatan Detik-detik Proklamasi

Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Peringatan ini biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Pusaka), pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.



Last edited by havana (kaukuser)

MISTERI SUPRIYADI DARI SALATIGA

Sejarawan Dr Fx Baskara Tulus Wardaya menilai, kehadiran sosok Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi tidak bisa dipahami semata-mata sebagai sosok pahlawan yang sudah menghilang sekian puluh tahun kemudian muncul lagi. Ia mengharapkan publik memberi kesempatan memberikan ruang baginya memberikan narasi sejarah perjuangan yang pernah ia jalani untuk diceritakan lewat tulisan.

“Saya berjumpa beliau itu sekitar April 2008 dalam sebuah penelusuran sejarah. Saya ingin mencari pelaku-pelaku baru. Saya kemudian menemukan beliau dan wawancara, belakangan beliau baru mengaku sebagai Supriyadi,” tutur Baskara yang menulis buku buku 'Mencari Supriyadi, Kesaksian Pengawal Utama Presiden' itu.

Dari interaksi dengan Andaryoko alias Supriyadi, Baskara mendapati sesuatu yang berbeda. Menurut dia, beberapa orang yang sebelumnya mengaku sebagai Supriyadi biasanya memiliki beberapa ciri.

Di antaranya, selalu dikaitkan dengan mistis, hanya berpusat pada sosok dirinya, dan tidak bisa mengaitkan sejarah dengan perkembangan pasca kemerdekaan dan zaman kekinian.
“Tetapi Andaryoko ini, sekalipun mungkin saja dia berbohong, namun dia orangnya rasional dan spiritual. Dia bisa mengaitkan sejarah tempo dulu dan sekarang. Ia juga kritis terhadap situasi saat ini,” katanya.

Ia mencontohkan, misalnya narasi mengenai peran pemuda menuju kemerdekaan yang sangat besar. Sebagai pelaku sejarah, Andaryoko menyebut, pemuda pada zamannya sudah memiliki kesadaran politik yang besar. Mereka sadar, pemberontakan yang akan mereka lakukan pada tentara Jepang saat itu pasti tidak ada gunanya karena kalah persenjataan.

“Tapi, toh itu tetap mereka lakukan karena mereka sadar bahwa perjuangan perlu simbol. Mereka melakukan itu karena gundah melihat kekejaman tentara Jepang terhadap rakyat di luar,” urai kepala Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma Jogjakarta itu.

Narasi semacam inilah, lanjut Baskara yang tidak banyak dalam rekaman sejarah produk masa lalu. Apalagi, Andaryoko yang dikenal sebagai tokoh kebudayaan itu juga tak mau sekadar membeber kisah perjuangannya secara lisan. Ia ingin narasi hidupnya ditulis dalam sebuah buku.

Tak Pernah Ketemu
Jika Supriyadi adalah Andaryoko, apakah ia pernah berjumpa sosok Utomo Darmadi, adik tirinya dari Blitar dan memberikan penjelasan ? Baskara menyebut Andaryoko bukan Supriyadi yang tertulis dalam sejarah besar di Blitar. Ia warga Salatiga yang kini tinggal di Jl Mahesa no 101, Pedurungan, Semarang. “Tentu belum ketemu (dengan Utomo, red), karena Andaryoko ini bukan orang Blitar. Dia dari Salatiga,” bebernya.

Andaryoko lahir 23 Maret 1920. Saat masuk PETA, usianya 'dituakan' tiga tahun. “Sehingga ia mengikuti pendidikan tentara saat berusia 25 tahun. Jika dirunut sampai tahun 1945, maka pemberontakan yang dilakukan wajar bisa dilakukan, karena usianya relatif muda,” ungkapnya.
Di rumah Andaryoko yang kini ia tinggali, juga tidak terdapat banyak peninggalan. Saat melarikan diri, sebut Baskara, ia hanya mengenakan satu baju tanpa membawa peralatan lain. “Ia hanya punya foto semasa muda waktu masuk PETA dan sebuah samurai asli tentara Jepang. Katanya, itu milik tentara yang dia bunuh,” ujarnya.

Baskara berpendapat, misteri Supriyadi belum selesai. Kalau Supriyadi yang berasal dari Blitar dianggap lebih asli dari Supriyadi Andaryoko asal Salatiga, ia pun mempertanyakan mengapa pemerintahan Jepang kala itu tidak pernah mengumumkan kematiannya.

“Menjadi kelaziman, tentara republik yang menjadi pemberontak Jepang yang gagal, kalau mati pasti diumumkan. Itu untuk men-discourage (mematahkan) perjuangan tentara lainnya. Tapi kita ingat, sampai sekarang tidak pernah dikabarkan kapan ia mati dan di mana makamnya,” tegasnya.

Andai setelah kemunculan Andaryoko ini muncul polemik, Baskara melihatnya sebagai sesuatu yang positif. Ia mengajak keluarga Supriyadi yang ada di Blitar atau daerah lain atau para sejarawan lain ikut mendiskusikan masalah itu dalam kerangka akademis.

Posted By: Aristo Malawat

Jumat, 23 Oktober 2009

INDONESIA PUNYA 8 PRESIDEN BUKAN 6


MUNGKIN masih banyak dari sobat-sobat yang beranggapan bahwa Indonesia hingga saat ini baru dipimpin oleh enam presiden, yaitu Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun hal itu ternyata keliru. Indonesia, menurut catatan sejarah, hingga saat ini sebenarnya sudah dipimpin oleh delapan presiden. Lho, kok bisa? Lalu siapa dua orang lagi yang pernah memimpin Indonesia?

Dua tokoh yang terlewat itu adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat. Keduanya tidak disebut, bisa karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja. Sjafruddin Prawiranegara adalah Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap Belanda pada awal agresi militer kedua, sedangkan Mr. Assaat adalah Presiden RI saat republik ini menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (1949).

Pada tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan agresi militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno - Hatta mengirimkan telegram berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".

Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".
Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI "diproklamasikan" . Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinatenya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.

Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.

Mr. Assaat
Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani di Belanda, 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia. Negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain.
Karena Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia.

Assaat adalah Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernah terputus sampai kini. Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan.
Nah sobat Percil, dengan demikian, SBY adalah presiden RI yang ke-8. Urutan Presiden RI adalah sebagai berikut: Soekarno (diselingi oleh Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat), Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.


Last edited by havana; 02-07-2008 at 08:36 AM..

Selasa, 20 Oktober 2009

Hidden Agenda Kegiatan Intelijen, Kapitalisme Internasional?

Oleh: R. Dandhi Mehendra Uttunggadewa
Edited By : Aristo Malawat
Tanpa terasa 80 tahun sudah berlalu sejak Soempah Pemoeda diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 oleh sekumpulan anak muda Nusantara. Cukuplah sudah romantisme dan nostalgia masa lalu yang selalu kita dengung-dengungkan dengan berkedok perayaan dan seminar yang seolah dipersembahkan untuk mengenang momentum yang bersejarah tersebut. Anak negeri ini tidak pernah sadar bahwa persoalan bangsa ini lewat di depan hidungnya --dengan penuh tawa dan senyum melihat derai tangis kesedihan anak negeri-- tanpa ada yang berusaha menuntaskannya.

Dengan segala kerendahan hati tulisan ini dipersembahkan kepada seluruh anak bangsa, anak negeri ini, setidaknya untuk mencoba membangunkan mereka dari tidur panjangnya agar mereka tahu bahwa mereka sedang tidur di pinggir jurang kehancuran, berbantalkan penyakit hedonisme, diselimuti gaya hidup yang glamour memabukkan, bermimpikan ketenaran bak selebriti yang sedang terbuai alunan rhapsody kematian.


Intelejen
Kebutuhan akan informasi sudah ada sejak manusia pertama hidup di muka bumi. Pengenalan mereka atas segala sesuatu di alam sekitarnya menjadi kumpulan informasi yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan setiap benda benda mati maupun hidup baik di darat, laut maupun angkasa guna mempertahankan hidup dari kerasnya kehidupan alam.
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia dimana kebutuhan manusia juga semakin bertambah mendorong terjadinya rivalitas yang tinggi baik antar satu manusia dengan manusia yang lain maupun satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain. Perebutan yang terjadi atas sebuah wilayah yang subur dan kaya akan potensi alam sering kali memicu konflik yang akhirnya berujung pada peperangan yang tak dapat dihindari. Tidak bertambahnya luas daratan serta tidak merata dan terbatasnya kekayaan alam tidak pernah mampu mencukupi kebutuhan hidup manusia yang semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu.
Di tengah rivalitas seperti inilah muncul sebuah aktivitas atau kegiatan, proses, dan instrumen yang didasarkan pada kecerdasan dan ketajaman akal untuk mendapatkan, mengolah dan menganalisis berbagai informasi untuk dihadirkan sebagai data guna pengambilan keputusan atas berbagai permasalahan yang dihadapi sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai intelijen.
Kata intelijen sendiri berasal dari kata intelligence yang dalam bahasa Indonesia berarti kepandaian dan kecerdikan. Pada perkembangannya, fungsi dan kegiatan intelijen semakin meliputi banyak hal akibat adanya pengaruh perkembangan teknologi serta semakin beragamnya kebutuhan para pengambil keputusan di berbagai sektor kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta teknologi dan ilmu pengetahuan.
Di tengah perubahan global dan ketatnya persaingan dunia saat ini yang sarat dengan power-play dan power-struggle, sudah barang tentu fungsi dan kegiatan intelijen semakin memegang peranan penting demi menjamin kelangsungan hidup, kedaulatan serta menjaga kepentingan setiap negara dalam menjalankan berbagai kebijakan dalam dan luar negerinya. Di abad informasi sekarang ini, siapa yang menguasai informasi maka dia akan menguasai dunia.
Dalam suasana peringatan 80 tahun Peringatan Soempah Pemoeda, menjadi penting bagi kita semua para anak bangsa untuk memahami sejauh mana sepak terjang Intelijen asing di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu perlu kiranya kita mengidentifikasi apa dan siapa yang mengendalikannya, apa target, sasaran dan tujuannya, serta sejauh mana kemampuan mereka yang sesungguhnya. Pada konteks ini intelijen tidak lebih adalah alat dari kepentingan master mind yang bermain di belakangnya.
Hanya dengan itu kita bisa memahami makna ikrar yang terkandung dalam Soempah Pemoeda dalam arti yang sesungguh-sungguhnya serta menghargai pengorbanan para pejuang dan pahlawan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya, Bangsa yang menghargai para pahlawannya adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jejak masa lalu sejarah bangsanya. Perlahan dan pasti bangsa ini akan sampai pada ambang kehancuran dan jurang kebinasaannya ketika mereka lupa dan khianat akan sejarah bangsanya.

Jejak Masa Lalu
Sampai lewat pertengahan abad ke-16 boleh dikatakan, bahwa kedudukan Indonesia dalam pergaulan internasional di masa itu ditentukan oleh letaknya dan kemampuan penduduknya mempergunakan tenaga produktifnya. Tetapi dari mulai orang Barat sampai ke Segara (Lautan) Hindia, habislah peranan orang Indonesia dalam pelayaran Asia…. (Mohammad Hatta)
Secara tekstual, tidak bisa dipungkiri bahwa kontrak sosial kita sebagai bangsa Indonesia memang baru diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Namun demikian harus disadari bahwa secara geostrategis dan geopolitis wilayah yang sekarang ini menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah lebih dulu ada di muka bumi ini inheren dengan berbagai dinamika permasalahan yang ada didalamnya sebagai bagian dari proses dialektika sejarah yang mengantar pada kemerdekaan NKRI.
Untuk melihat pemetaan kepentingan asing terhadap NKRI setidaknya ada tiga tahapan penting perubahan global yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan sejarah Indonesia dari waktu ke waktu.

Masa Kolonialisme-Imperialisme

Sejarah dunia telah mencatat dimulainya zaman Kolonialisme-Imperialisme Eropa seiring sejak terjadinya revolusi industri yang diawali oleh hancurnya kekuasaan monarkhi absolut yang didukung oleh kekuasaan gereja di Eropa. Pembangkangan yang dilakukan oleh kaum pemilik modal dan kaum cendikiawan--middenstand--telah menabrak langsung kekuasaan elitis kaum bangsawan dan doktrin-doktrin absolut gereja. Kemenangan para cendikiawan yang mendukung gagasan bahwa bumi itu bulat telah menghancurkan doktrin gereja yang pada saat itu mengimani bahwa bumi itu datar. Dalam proses pembuktiannya, para pemilik modal ikut mengambil peran mendukung gagasan para cendikiawan dengan memfasilitasi ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol yang kemudian diikuti oleh Inggris, Perancis dan Belanda sampai pada akhirnya mereka menemukan jalan ke “Hindia” dengan berkeliling Afrika menuju ke timur dan berkeliling Amerika Selatan menuju ke Barat yang akhirnya membentuk peradaban Eropa baru bernama United State of America (Amerika Serikat).
Konsep pemikiran Merkantilisme sebagai aliran politik ekonomi yang berkembang di Eropa ketika itu menemukan bentuk sejatinya dengan ditemukannya wilayah-wilayah baru yang kaya dengan potensi alamnya dan keramahan penduduknya. Inilah awal dari pengiriman ekspedisi besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa dengan mengibarkan panji-panji Gold, Glory, dan Gospel sebagai basis legitimasi atas pengkaplingan yang mereka lakukan terhadap wilayah-wilayah jajahan baru yang tersebar di seluruh dunia.
Kolonialisasi atas wilayah-wilayah jajahan baru inilah yang nantinya menjadi dasar penentuan batas wilayah bagi negara-negara yang baru merdeka. Itu sebabnya mengapa proses pemisahan Timor-Timur dari Indonesia mendapat dukungan luas dari Eropa dan Amerika Serikat, karena sesungguhnya mereka masih memandang bahwa Timor-Timur adalah bagian dari wilayah jajahan Portugis, berbeda dengan Indonesia yang dalam pandangan mereka adalah bagian dari wilayah jajahan Belanda.

Masa Neo Kolonialisme-Imperialisme
Nafsu serakah untuk menguasai sebanyak mungkin wilayah jajahan memicu terjadinya persaingan bahkan konflik di antara bangsa-bangsa Eropa yang menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya Perang Dunia I yang kemudian berlanjut dengan Perang Dunia II.
Seiring dengan perubahan zaman serta tata politik dan tata ekonomi dunia dengan menguatnya keinginan dari banyak wilayah jajahan yang menuntut kemerdekaan dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa dimana tidak bisa lagi dibendung dengan kekuatan militer, maka pengakuan kemerdekaan bagi negara-negara baru tersebut merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dan hanya menunggu waktu.
Di sisi lain, kemajuan ekonomi bangsa-bangsa Eropa ditambah lagi Amerika Serikat sudah berkembang sedemikian pesatnya ke arah industrialisasi yang menuntut jaminan tersedianya pasokan bahan baku dan energi secara berkesinambungan serta tentunya dukungan pasar, baik pasar tenaga kerja maupun pasar bagi pemasaran produk-produk industri mereka. Perkembangan di bidang sosial-politik, walaupun ditengarai oleh adanya konflik “ideologis” antara negara-negara pendukung kapitalisme-liberalisme yang tergabung dalam NATO dan dikomandoi oleh Amerika (USA) dengan negara-negara Pakta Warsawa yang berkiblat pada sosialisme-komunisme dengan panglimanya Uni Sovyet (USSR), pun tetap pada akhirnya berujung pada pertarungan hegemoni demi kepentingan penguasaan global.
Situasi dan kondisi ini yang mendorong mereka untuk segera menyesuaikan diri terhadap arah perubahan global. Semula yang tadinya menggunakan pendekatan politik dengan strategi penggunaan kekuatan militer untuk menduduki wilayah jajahan, berubah menjadi pendekatan ekonomi dengan strategi penggunaan kekuatan kapital untuk menguasai --tanpa harus menduduki-- wilayah jajahan. Ini yang kemudian lebih dikenal sebagai Neo Kolonialisme-Imperialisme (NEKOLIM).
Dalam hal ini harus diakui bahwa di tengah terpuruknya Eropa akibat Perang Dunia II, Amerika Serikat memiliki keunggulan dalam memegang kendali dan peranan utama sebagai inisiator terbentuknya fondasi sebuah tatanan ekonomi internasional yang bertujuan untuk terus memperluas wilayah jajahan tanpa harus menduduki. Ada dua mekanisme utama yang dikembangkan oleh Amerika dalam hal ini, yakni sistem Bretton Woods dan Marshall Plan.
Dari pertemuan yang diadakan pada tahun 1945 di Hotel Mount Washington, Bretton Woods, New Hampshire, USA; sistem Bretton Woods dilahirkan dengan tujuan untuk menyediakan kerangka institusional bagi sebuah tatanan ekonomi liberal yang diinginkan oleh para kapitalis Amerika. Selain itu, pertemuan tersebut juga memutuskan untuk membentuk “korporasi trans-nasional” dan “lembaga trans-nasional” yang bernama World Bank dan International Monetary Fund atau IMF. Pertemuan itu juga mensyaratkan adanya perubahan standar nilai tukar mata uang dunia dari Gold Standard (standar emas) menjadi US Dollar standard (standar Dollar Amerika Serikat).
Tugas utama World Bank diawal berdirinya adalah untuk membantu pembangunan dan rekonstruksi teritori para anggota Bank Dunia dengan memfasilitasi investasi kapital untuk tujuan produksi. Sedangkan IMF bertugas untuk merekonstruksi dan menjaga sistem moneter internasional.
Kedua badan dengan masing-masing tugas tersebut dipandu oleh sebuah skema perencanaan yang bertujuan agar terjadi kesamaan dan kesatuan pandang di antara para pengambil keputusan dalam persepsi maupun pembuatan kebijakan. Skema perencanaan inilah yang lebih dikenal sebagai Marshall Plan.
Marshall Plan juga dimaksudkan untuk memberi kemungkinan bagi mereka dalam mengelola perekonomian dunia paska perang pada basis komitmen bersama bagi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas tinggi.
Dari sinilah berawal sistem perencanaan proyek pembangunan di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang meletakkan peran utama negara sebagai pendorong utama perubahan dengan mengandalkan ketergantungan pada dana bantuan institusi keuangan internasional. Maka tentunya tidak mengherankan apabila pemimpin-pemimpin negara dunia ketiga seperti Soeharto dan Marcos mampu mempertahankan kekuasaannya dalam waktu lama. Pemimpin-pemimpin otoritarian seperti ini dihadirkan sebagai alat untuk melayani kepentingan mereka --negara-negara kapitalis Amerika Serikat, Eropa dan sekutunya.

Masa Posmo Kolonialisme-Imperialisme
Perkembangan yang terjadi paska kelahiran Bretton Woods dan Marshall Plan makin menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan bagi negara-negara kapitalis Amerika dan Eropa. Tercatat berbagai organisasi sayap pendukung bermunculan untuk melengkapi dan menyempurnakan agenda penguasaan global seperti World Trade Organization (WTO) yang dilahirkan dalam pertemuan Uruguay Round (Putaran Uruguay) pada tahun 1994 dimana Indonesia salah satu dari 140 negara (sampai 30 Nopember 2000) yang telah meratifikasi hasil putaran Uruguay melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization.
Hasil perundingan Putaran Uruguay secara garis besar terbagi dalam empat bagian yaitu perluasan akses pasar, penyempurnaan aturan main, penyempurnaan institusional dan beberapa isu baru. Isu baru yang dimaksud adalah perjanjian di bidang jasa (GATS-General Agreement Trade in Services), perjanjian yang mengatur hak atas kekayaan intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPS-Trade Related of Intellectual Property Rights), dan perjanjian investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMS-Trade Related Investment Measures).
Belum lagi tak terhitung organisasi-organisasi yang ditukangi oleh gerakan rahasia Freemasonry Yahudi dengan kemampuan lobby internasional yang sangat konspiratif mampu memberikan pengaruh yang kuat terhadap kebijakan luar negeri negara-negara maju khususnya Amerika Serikat. Tercatat antara lain World Economic Forum yang pada tahun 1996 mengadakan pertemuan di Davos, Swiss. Ada lima isu yang menjadi rekomendasi utama dalam pertemuan itu, yakni korupsi kolusi dan nepotisme, hak asasi manusia, demokratisasi, gender dan liberalisasi perdagangan. Kelima isu tersebut harus segera disosialisasikan untuk menjadi isu global demi memuluskan agenda-agenda penguasaan global (globalisasi). Meminjam ucapan Hans Peter Martin dan Harald Schumann dalam bukunya The Global Trap: Globalization and the Assault on Democracy and Prosperity, “Globalisation is not a 'natural' process, but one `consciously driven by a singleminded policy’ ”.
Presiden Amerika Serikat George Bush Sr. pada 11 September 1991, tepat 10 tahun sebelum terjadi peristiwa aksi terorisme dengan hancurnya World Trade Center (WTC), dalam pidatonya di depan kongres Amerika dengan tegas telah menetapkan adanya keinginan untuk membangun tatanan The New World Order.
Pada tahap ini bangunan tata sistem serta struktur ekonomi politik internasional yang dibangun oleh Amerika dan sekutu baratnya makin menghegemoni dunia, terutama setelah hancurnya blok komunisme-sosialisme dengan diawali oleh gerakan Glasnost-Perestroika di Uni Sovyet dan hancurnya tembok Berlin yang kemudian berkembang menjadi guliran bola salju mendorong terjadinya proses Balkanisasi yang menghantam negara-negara Eropa-Timur dan semenanjung Balkan.
Gelombang besar perubahan peta politik dan ekonomi dunia yang terjadi bukanlah sebuah keniscayaan yang muncul begitu saja secara kebetulan. Semua perubahan yang terjadi ini tetap dalam sebuah grand design dan grand scenario dari kapitalisme Amerika dan sekutu baratnya yang kemudian dikenal sebagai "turbo-capitalism".
Secara politik, jangan pernah dilupakan betapa besarnya peran United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai organisasi boneka yang bermarkas di Amerika dalam memuluskan agenda-agenda kepentingan mereka. Dalam operasi-operasi penggelaran kekuatan militer yang dilakukan atas nama PBB, Dewan Keamanan PBB masih tergantung pada hak veto yang dimiliki oleh sejumlah negara maju. Ini makin membuktikan bahwa organisasi yang menjadi tempat berhimpunnya seluruh negara-negara di dunia dimana seharusnya menjunjung tinggi asas kesetaraan atas dasar persamaan kedaulatan setiap negara, nyata-nyata di bawah kendali mereka.
Dengan tercapainya keberhasilan dalam membentuk bangunan tata sistem serta struktur ekonomi politik internasional, maka tinggal selangkah lagi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan terciptanya penguasaan global secara total. Pada tahap inilah kembali terjadi perubahan pendekatan dari yang semula menggunakan pendekatan ekonomi dengan strategi penggunaan kekuatan kapital untuk menguasai --tanpa harus menduduki-- wilayah jajahan, berubah menjadi pendekatan budaya dengan strategi penggunaan kekuatan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk melakukan social engineering (rekayasa sosial)--kalaupun tidak bisa dikatakan sebagai proses cuci otak dan indoktrinasi secara halus dan sistematis-- terhadap masyarakat di wilayah jajahan. Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai Posmo Kolonialisme-Imperialisme atau sering pula disebut sebagai Imperialisme Budaya.
Perlu digarisbawahi dalam mencermati perubahan pola pendekatan yang terjadi, setiap tahapan perubahan pendekatan tidak berarti menegasikan pendekatan yang dilakukan sebelumnya sebagai sebuah opsi pilihan. namun lebih pada menempatkan pilihan skala prioritas mana yang lebih didahulukan dengan berbagai varian kombinasinya mengingat ini juga sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi obyek wilayah jajahan yang memiliki karakteristik serta tingkat kesulitan berbeda-beda.
Dalam strategi pendekatan budaya melalui proses social engineering,
Target yang dituju adalah langsung pada manusia yang nantinya diperankan, difungsikan dan diposisikan sebagai obyek yang akan mengisi bangunan tata sistem dan struktur ekonomi politik dunia yang sudah lebih dulu dipersiapkan.
Sasaran yang ingin dicapai adalah untuk merubah tata nilai, budaya, sikap perilaku, sistem dan struktur dari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di wilayah jajahan; agar berorientasi pada tata nilai, budaya, sikap perilaku, sistem dan struktur dari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ada di negara-negara barat menuju kearah terciptanya tatanan masyarakat dunia yang kapitalistik dan liberal --neoliberal economists and politicians preach the "American model" to the world.

Tujuan jangka pendek

  1. Menjaga keunggulan posisi dengan memelihara bangunan tata sistem dan struktur ekonomi politik dunia yang sudah tercipta.
  2. Menuntaskan penguasaan teritorial dunia atas wilayah-wilayah yang belum sepenuhnya dikuasai secara mutlak --seperti yang telah terjadi pada Afghanistan dan Irak dengan target berikutnya adalah Iran dan Korea Utara, (Indonesia ?)--.
  3. Mengurangi peran negara di wilayah jajahan secara perlahan-lahan dengan mengatasnamakan demokrasi. Artinya, ketika civil society menguat maka state akan melemah. Dengan demikian, kekuatan modal atau capital pada akhirnya yang akan mengatur kebijakan negara atas nama mekanisme pasar yang pada dasarnya dikendalikan oleh kaum pemilik modal. Peran dan posisi negara dalam hal ini pemerintah, tidak lebih hanya menjalankan peran administratif ketatanegaraan saja.
Tujuan jangka menengah yang ingin diraih adalah menata ulang wilayah administratif negara-negara jajahan --melalui gerakan-gerakan separatis seperti yang terjadi saat ini di Aceh, Maluku dan Papua-- dengan membentuk negara-negara kecil baru melalui proses Balkanisasi terhadap wilayah jajahan. Hal ini dilakukan untuk melemahkan tingkat resistensi dan perlawanan terhadap upaya-upaya proses social engineering sehingga memudahkan pengendalian konflik territorial.
Tujuan jangka panjang adalah membentuk tata dunia baru -- the new world order, novus ordo seclorum (lihat lembaran uang pecahan 1 US Dollar), Globalisasi -- melalui penciptaan regional economies (zona-zona ekonomi regional) yang nantinya akan tergabung dalam United State of e-Global System (Federalisme Global) dibawah kendali cyber-capitalism.
Pada awal proses berlangsungnya, untuk menghindari resistensi serta agar memberikan pencitraan kepada penduduk wilayah jajahan bahwa yang mereka lakukan adalah mission-sacréé, maka wacana korupsi, kolusi, nepotisme, hak asasi manusia, demokratisasi, gender dan liberalisasi perdagangan menjadi basis standar moral yang digunakan sebagai kemasan untuk melegitimasi setiap tindakan taktis yang mereka lakukan dalam upaya proses social engineering. Walaupun pada prakteknya sering kali mereka juga menggunakan standar ganda sepanjang itu menguntungkan kepentingan mereka.
Seiring dengan laju kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan maka kompleksitas persoalan yang dihadapi menuntut juga adanya langkah-langkah pendekatan politik dan ekonomi yang lebih komprehensif sinergis dengan proses social engineering yang sedang dilakukan. Untuk itu, selain wacana tersebut di atas yang digunakan sebagai basis standar moral, dituntut pula adanya basis standar intelektual berupa kerangka teoritis yang sengaja diciptakan untuk memberikan legitimasi ilmiah akademis atas proses yang sedang berlangsung.
Tercatat sejumlah “nabi-nabi baru“ ilmu pengetahuan dimana karya-karya pemikirannya seringkali dikutip sebagai referensi akademis sekaligus jebakan intelektual bagi cendikiawan-cendikiawan di negara-negara wilayah jajahan (negara-negara berkembang dunia ke-3) seperti antara lain:

Samuel P. Huntington, karyanya:
  1. The Class of Civilizations
  2. Political Order in Changing Societies
John Naisbitt, karyanya:
  1. Megatrends 2000
  2. Megatrens Asia : Eight Asian Megatrends That Are Reshaping Our World
  3. Global Paradox
Alvin Toffler, karyanya:
  1. The Third Wave
  2. Future Shock
  3. Powershift : Knowledge, Wealth and Violence at the 21st Century
Kenichi Ohmae, karyanya :
  1. The Next Global Stage : The Challenges and Opportunities in Our Borderless World
  2. The Borderless World, rev ed : Power and Strategy in the Interlinked Economy
  3. The Invisible Continent : Four Strategic Imperatives of the New Economy
  4. End of the Nation State : The Rise of Regional Economies
  5. The Evolving Global Economy : Making Sense of the New World Order
  6. The Global Logic of Strategic Alliances
Anthony J Giddens, karyanya :
  1. Runaway World : How Globalization is Reshaping Our lives
  2. The Third Way : The Renewal of Social Democracy
  3. Modernity and Self –Identity : Self and Society in the Late Modern Age
Daniel Bell, karyanya :
  1. The end of Ideology
  2. The Cultural Contradictions of Capitalism
  3. The Coming of Post-Industrial Society
Hans Peter Martin dan Harald Schumann, karyanya :
  1. The Global Trap: Globalization and the Assault on Democracy and Prosperity
Yang kesemuanya seolah-olah berisi tentang berbagai analisis dan teori-teori baru mengenai perubahan-perubahan dunia yang sudah terjadi, sedang berlangsung dan yang akan datang. Keseluruhan karya-karya tersebut dicitrakan sebagai nubuat-nubuat yang membawa doktrin-doktrin kebenaran baru tentang bagaimana seharusnya masa depan dunia.
Ilustrasi yang tepat atas itu mungkin bisa dilihat dari kejadian pemboman yang menyebabkan hancurnya gedung WTC di New York oleh kelompok fundamentalis Islam yang mengaku bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Hal ini membuat Amerika Serikat justru mendapatkan legitimasi dan justifikasi untuk melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak atas nama peperangan melawan terorisme --sesuai dengan apa yang “diprediksi” oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Class of Civilizations yang menyatakan bahwa paska hancurnya komunisme dengan runtuhnya Uni Sovyet, maka yang akan menjadi ancaman berikutnya terhadap kepentingan barat adalah islam. Walhasil, ladang-ladang minyak berikut jalur pipa distribusi minyak di kedua negara tersebut sekarang sudah menjadi milik Amerika Serikat dengan “dukungan dan restu” dari pemerintahan boneka yang diciptakannya di kedua negara itu.
Kendati demikian, apabila dicermati lebih jernih dan lebih teliti serta di-elaborasi secara mendalam dengan menggunakan kejernihan pikiran dan logika akal sehat yang kontemplatif serta dituntun oleh budi nurani kemanusiaan yang imanen dan transendental, sesungguhnya kita akan menemukan bahwa karya-karya tersebut ternyata lebih jauh berisi tentang blue print lengkap manual instruction yang akan dilakukan terhadap masa depan dunia sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan.
Dengan menggunakan logika terbalik, maka tidaklah mengherankan apabila setiap langkah dan tindakan apapun yang mereka lakukan dalam menjalankan berbagai pilihan strategi pendekatan dengan berbagai perubahan varian kombinasinya, menjadi terjustifikasi serta terlegitimasi secara ilmiah dan akademis oleh landasan kerangka teoritis yang justru memang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Jadi apa yang seolah-olah ditulis dalam buku-buku tersebut sebagai future analysis sesungguhnya adalah hidden agenda (rencana-rencana tersembunyi) yang saat ini by design sedang berproses.

Indonesia Riwayatmu Kini

Kemerdekaan barulah kemerdekaan sejati, jikalau dengan kemerdekaan itu kita dapat menemukan kepribadian kita sendiri. Unsur-unsur dari luar harus kita anggap hanya sebagai pemegang fungsi pembantu belaka, pendorong, stimulans, bagi kegiatan kita sendiri, keringat Indonesia sendiri. (Ir. Soekarno)
Dari sekilas jejak masa lalu di atas tentunya bisa dilihat betapa besar pengaruh global terhadap perjalanan sejarah Indonesia hingga saat ini. Masih segar dalam ingatan kita akan beberapa peristiwa yang belum lama terjadi, bagaimana hancurnya proses kehidupan berbangsa dan bernegara yang diwarnai oleh berbagai kerusuhan dan konflik horizontal sebelum kejatuhan Soeharto yang dipicu oleh adanya krisis ekonomi di Asia akibat melonjaknya nilai US Dollar (US $ 1 = Rp. 15.000,-). Lebih lanjut lagi, kondisi ini membawa Indonesia ke dalam turbulensi politik yang berdampak pada instabilitas politik sebagai akibat terjadinya pergantian presiden sebelum berakhirnya masa jabatan.
Kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik masih ditingkahi lagi oleh berbagai bencana alam (gempa, tsunami, ancaman gunung berapi, banjir bandang, kekeringan) dan wabah (SARS, flu burung, Chikungunya, demam berdarah, busung lapar) yang memakan korban harta benda dan korban jiwa baik manusia maupun hewan ternak di seluruh penjuru tanah air.
Kenaikan harga bahan bakar minyak sebagai konsekuensi logis dari pencabutan subsidi bahan bakar minyak seperti yang tertuang dalam 50 butir kesepakatan LOI yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto dengan IMF pada tahun 1998, makin menyengsarakan rakyat. Kenaikan harga bahan bakar minyak baru-baru ini akibat adanya kenaikan harga minyak dunia yang hampir mencapai US $ 150 / barrel malah menimbulkan kelangkaan bahan bakar minyak di dalam negeri. Celakanya, di tengah kelangkaan itu masih saja terjadi upaya penyelundupan ke luar negeri. Penjualan aset-aset negara melalui program privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atas perintah IMF dalam kerangka mengurangi defisit anggaran belanja negara dengan alasan penciptaan good corporate government jelas-jelas adalah siasat untuk membuat negara makin terlikuidasi.
Berbagai upaya politik atas nama reformasi seperti antara lain, otonomi daerah yang tadinya dilandasi oleh semangat desentralisasi pada implementasinya justru melahirkan raja-raja kecil di tingkat daerah yang mewarisi sikap despotis otoritarian para petinggi pusat di masa Orde Baru. Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang kebablasan dengan menghilangkan fungsi dan peran lembaga tertinggi negara MPR-RI melalui sistem bikameral yang secara gegabah mengadopsi sistem bikameral kongres dan senatorial di Amerika Serikat hanya dilakukan semata-mata atas nama demokrasi membuat Republik Indonesia menjadi negara unitarian (Kesatuan) yang kental aroma federal.
Ditambah lagi pemberian otonomi khusus kepada sejumlah daerah yang bergolak akibat adanya gerakan separatis dukungan ‘Internasional’ menyiratkan adanya upaya untuk secara sembunyi-sembunyi memaksakan konsep negara bagian segera diimplementasikan. Sebagai konsekuensi logis demokrasi—di tengah rendahnya apresiasi politik rakyat akibat pembodohan politik selama 32 tahun di masa Orde Baru--, diselenggarakanlah pemilihan umum langsung presiden dan wakil presiden yang penuh diwarnai oleh berbagai konspirasi beraroma money politics yang rawan dengan konflik horisontal. Hal tersebut semakin memuncak dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di berbagai daerah di Indonesia yang akan semakin menambah daftar panjang daerah yang terlibat konflik horizontal selain yang sudah terjadi di Poso dan Maluku.
Di bidang pertahanan dan keamanan, terjadi konflik perbatasan dengan Malaysia yang mengklaim perairan Ambalat adalah bagian dari wilayahnya. Belum lagi adanya upaya yang disponsori oleh sejumlah negara kapitalis barat untuk membentuk Uni Timor dengan mencoba melepaskan Nusa Tenggara Timur dari Indoneaia agar bergabung dengan Timor Leste sungguh-sungguh telah merongrong kedaulatan NKRI. Aksi-aksi terror bom dan gerakan anarkis ala Taliban oleh sejumlah organisasi dengan mengatasnamakan Islam membuat posisi Indonesia semakin melemah di mata pergaulan internasional. Euphoria kebebasan pers yang dilandasi atas dasar hak asasi manusia untuk menerima informasi seluas-luasnya makin memprovokasi keadaan ke arah yang tidak kondusif dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Makin mahalnya biaya pendidikan dibanding dengan rendahnya kemampuan daya beli masyarakat memunculkan fenomena bunuh diri di kalangan anak-anak putus sekolah. Selain itu, makin tingginya tingkat kriminalitas dengan maraknya perjudian, pengedaran dan penyalahgunaan narkoba, prostitusi, sex bebas, trans-gender, homosexual, korupsi, perampokan, penjambretan, pemerkosaan, penghilangan nyawa, mutilasi dan berbagai aksi tindak kriminal lainnya adalah indikator hancurnya mental, akhlak dan moral bangsa membawa kondisi NKRI semakin terpuruk.
Tak kalah memprihatinkan adalah upaya penegakkan hukum yang seharusnya memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum ternyata masih menjadi barang mewah yang hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang berduit yang mampu menyiasati hukum untuk kepentingannya. Masih berlangsungnya praktek mafia peradilan dan percaloan perkara peradilan yang melibatkan petinggi-petinggi institusi penegakkan hukum makin dilakukan secara terbuka tanpa rasa malu. Campur tangan politik dalam beberapa perkara peradilan memperlihatkan adanya kecenderungan tebang pilih untuk menghancurkan lawan-lawan politik melalui proses hukum. Lagi-lagi hukum hanya menjadi alat kepentingan politik dan ekonomi yang bersembunyi di belakangnya. Fenomena main hakim sendiri di kalangan masyarakat serta adanya pendapat umum yang berkembang, “Tadinya cuma kehilangan ayam, tetapi akibat dilaporkan kepada pihak berwajib malah jadi kehilangan kambing”, adalah indikasi rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap upaya penyelesaian melalui jalur hukum.
Pengaruh global yang paling berakibat buruk adalah proses penghancuran nilai-nilai budaya bangsa yang merupakan sendi-sendi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai spritualitas berkeTuhanan yang selama ini menjadi fondasi dari bangunan tatanan masyarakat gotong-royong, perlahan tapi pasti makin tercerabut dari akarnya. Budaya lokal seperti halnya Mapalus di Manado, Pela Gandong di Ambon, Dalihan Natolu di Batak, Rembug Desa di Jawa yang sarat dengan nilai-nilai gotong-royong semakin tersingkir dari kehidupan masyarakat.
Derasnya arus budaya asing yang lebih mengedepankan semangat individualisme yang berorientasi pada uang dan hedonisme sedemikian merasuk di tengah-tengah masyarakat. Celakanya, hal-hal seperti ini mendapat dukungan yang kuat dari sistem pendidikan nasional yang hanya sibuk berkutat mengurusi proyek Ujian Akhir Nasional (UAN) ketimbang menjalankan amanah Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan bersendikan pada nilai-nilai budaya bangsa.
Belum lagi maraknya tayangan-tayangan di layar kaca maupun pemberitaan-pemberitaan dan berbagai artikel di media cetak yang hanya dipenuhi semangat penghambaan kepada kepentingan para pemasang iklan yang hanya mau tahu bagaimana membuat produknya laku terjual tanpa peduli pada dampak kerusakan moral, mental dan akhlak yang ditimbulkannya. Bangsa ini telah dimabukkan oleh berbagai ajang kontes kecantikan dan festival tarik suara yang menjanjikan popularitas dan ketenaran dengan membawa sebuah harapan untuk menjadi yang terbaik dimana dihadapannya seolah-olah terhampar padang rumput kesuksesan yang di bawahnya mengalir sungai-sungai kemewahan berisi harta dan permata.
Berbagai situasi dan kondisi yang berkembang di atas, seharusnya segera dipahami oleh para anak bangsa, pemimpin bangsa, pemuka agama, pemuka masyarakat dan para elit penyelenggara negara bahwa apa yang sekarang terjadi dan sedang berkembang di Indonesia saat ini adalah bagian dari power play maupun power game yang sedang dimainkan oleh suatu struktur virtual demi penguasaan total atas NKRI sebagai wilayah jajahan yang sejak zaman dulu secara geostrategis dan geopolitis memang sangat strategis --Sea Lane of Communication, terletak di antara dua benua dan dua samudera--serta kaya akan potensi alam dengan jumlah penduduknya yang potensial sebagai pasar yang menjanjikan sebagai tempat penanaman modal.
Celakanya, entah disadari atau tidak, banyak anak bangsa dari seluruh golongan dan lapisan masyarakat mulai dari pengemis, supir, buruh, petani, nelayan, mahasiswa, politisi, dosen, pengacara, birokrat, guru, aktivis organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat, jurnalis, presenter, insan pers, tentara, elit politik (legislatif, eksekutif, yudikatif), penyelenggara pendidikan, profesional, aparat penegak hukum, pengamat, seniman, pengusaha, akademisi, peneliti, intelektual, aktor-artis, guru agama, ulama, pemuka-pemuka agama dan masyarakat bahkan sampai presiden; tanpa memandang dari suku dan agama apapun, tua - muda, perempuan–laki-laki di berbagai sektor baik yang terjun di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, kesenian, hukum, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, unformasi dan komunikasi, pendidikan, pertahanan dan keamanan maupun keagamaan; dengan penuh euphoria menyediakan diri untuk menjadi aktor-aktor reality show yang siap memainkan script dari para sutradara asing atas dukungan dana yang tak terbatas dari para produser ekonomi politik dunia. Mereka inilah para komprador dan anték-anték yang selama ini sesungguhnya menjadi operator-operator dan agen-agen dari kegiatan intelijen kapitalisme internasional di wilayah kedaulatan NKRI.
“Tiadalah suatu negara di manapun juga mendapatkan kekuatan dan keutuhannya tanpa menyatukan mereka dengan pemimpinnya. Jika pun ada, maka akan kita temukan suatu pemandangan dimana para petinggi politik dan para pengusaha raksasa akan berkomplot untuk menjarahi kekayaan bangsa sendiri dan bangsa lainnya, sementara rakyat akan tetap dibiarkan bodoh agar tak tahu perihal hak-haknya lalu mereka akan dimabukkan oleh kemewahan harta benda hingga mereka tiada lagi punya kepedulian diantara rasa kemanusiaan yang sebenarnya sering mereka banyolkan.
Itulah tirani baru dari Negara modern…!!!”

R. Dandhi Mehendra Uttunggadewa, kontributor Mediabersama.com

Kebijakan Perburuhan Semakin Tereduksi

Oleh :Firman Rendi Sutansah
Edited By: Aristo Malawat 
 

Sejak Soeharto tumbang 11 tahun yang lalu, keadaan buruh di Indonesia malah semakin memburuk. Mulai awal reformasi negara ini telah dipimpin oleh 4 pemimpin negara yang berbeda-beda. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk perburuhan semakin membuat posisi buruh tidak mempunyai posisi tawar di mata kaum kapitalis atau pemodal.
Tengok saja hasil kebijakannya :
Presiden
 Kebijakan Perburuhan
 Partai Pendukung di DPR RI   
     
Gus Dur
 Membuat kebijakan KEPMEN 77/78, tentang penurunan nilai Pesangon dan Penghilangan Uang Penghargaan
 PKB, PDIP, PPP 
     
Megawati
 
  1. Mengesahkan UUK 13/2003 (Sistem Kerja Kontrak dan outsourcing)
  2. Mengesahkan UU PPHI 2/2004 (Pengadilan Hubungan Industrial)
 Semua partai politik di antaranya : PDIP, Golkar, PKS, PKB, PAN, PPP
     
Susilo Bambang Yudhoyono
 
  1. Rencana Revisi UUK 13/2003
  2. Pengesahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) no.25/2007
  3. Rencana Peraturan Pesangon
  4. SKB 5 Menteri tentang listrik
  5. KB/PB 4 menteri tentang kenaikan upah tidak boleh lebih dari 6%
  6. JPS keuangan membantu modal pengusaha karena krisis
 Partai  Demokrat, PKS, PAN, Golkar, PPP dan partai-partai lainnya
Dari semua kebijakan yang terpampang di atas, jelas bahwa corak pemerintahan yang sedang berlangsung di Indonesia mengarah pada fleksibilitas pasar kerja, alias anti perlindungan terhadap buruh. Paham para pemimpin kita jelas-jelas mengarah pada neoliberalisme dengan tuannya kapitalisme, walaupun ada beberapa pemimpin ini yang menggeram kepada tuannya karena tidak diberi tulang yang cukup dan menggunakan sentimen-sentimen nasionalisme dan kerakyatan untuk mengancam tuan imperialis mereka.
Sejak badai besar krisis memporakporandakan bangunan sistem perekonomian kapitalis, ramai-ramai partai politik di Indonesia menyerukan ekonomi kerakyatan. Hal ini jelas- jelas pembohongan terbesar terhadap publik. Mereka lupa, orang-orang yang mereka tempatkan di parlemen dan pemerintahan  maupun duduk di pemerintahan mereka tidak berbuat apa-apa. Yang terjadi malah menyetujui kebijakan-kebijakan yang merugikan buruh dan rakyat. Mereka tidak pernah mentelaah kebijakan tersebut secara mendalam mengenai resiko-resiko yang merugikan rakyat.
Mereka malah sibuk dengan korupsi dan bagi ”hasil” dari proyek-proyek pemerintahan. Para elite politik sibuk menyakinkan para pemodal dari pada rakyatnya sendiri. Mereka merayu para investor agar mau menanamkan modalnya di negeri ini dengan memberikan stimulus kebijakan pemangkasan birokrasi bahkan melenturkan kebijakan pasar tenaga kerja. Dengan fleksibilitas tenaga kerja, jelas mengorbankan kaum buruh. Mereka dengan sengaja menjual buruh Indonesia dengan slogan Upah Murah.

Pemerintah Daerah
Semenjak pemberlakuan otonomi daerah, wajah pemerintahan kita semakin menunjukkan ketidak becusan dalam mengurusi rakyatnya. Itu tergambar jelas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang tidak bisa memproteksi rakyat miskin. Pemerintahan daerah semakin hari semakin sibuk dengan upaya pencitraan daerahnya masing-masing sebagai daerah yang ramah terhadap investor. Otonomi daerah digunakan hanya untuk menciptakan penguasa-penguasa lokal. Harapan rakyat akan perbaikan kesejahteraan melalui otonomi daerah pupus. Otonomi daerah di bawah basis kapitalisme hanya selalu berarti kebebasan bagi para penguasa lokal untuk berebut jarahan. Seperti halnya kemandirian bangsa yang ditawarkan oleh para elit politik hanyalah akan berarti kebebasan bagi para penguasa modal domestik untuk mencabik-cabik rakyat pekerja.
Dalam hal ini jelas yang dirugikan adalah masyarakat kecil khususnya  kaum buruh. Tak satu pun daerah di Indonesia yang bisa mengeluarkan peraturan daerah yang melindungi buruh. Dengan dalih tidak ada pegangan dalam membuat peraturan daerah tersebut. Ini sebuah kebohongan yang disengaja oleh eksekutif daerah. Sebenarnya, kalau mereka mengerti dan memahami undang-undang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat, mereka bisa dengan mudah membuat peraturan-peraturan daerah yang melindungi buruh. Bisa dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 tentang perlindungan dan kesempatan, jaminan dalam memperoleh pekerjaan yang layak sampai dengan undang-undang nomor 13 tahun 2003 yang mengatur sistem perburuhan.
Di sinilah sekarang serikat buruh harus bisa 'memaksa' pemerintahan daerah agar membuat kebijakan perlindungan bagi buruh. Di samping kita bisa menakar kekuatan kekuatan buruh di tingkatan lokal, kita juga bisa belajar dalam pengorganisiran kaum buruh agar lebih solid. Dengan memasukkan pendidikan politik buruh, kita kaum buruh harus bisa maju menjadi pemimpin. Buruh jangan hanya diam saja dan berharap banyak pada kaum demokrat-reformis. Mereka hanya memanfaatkan massa pergerakan yang tidak terorganisir. Sudah saatnya kaum buruh mempunyai partai sendiri. Sebuah partai revolusioner. Sebuah partai yang murni berbasiskan pergerakan massa.
Firman Rendi Sutansah, aktivis Hands off Venezuela, kontributor Mediabersama.com

Jumat, 16 Oktober 2009

SKB empat Menteri benar-benar Neoliberal

Oleh: RUDI HARTONO

Krisis financial, yang dengan seketika, telah menyapu ekonomi dunia dan menyeretnya kedalam sebuah “resesi”, setidaknya paling mengerikan sejak great depression 1930-an. Krisisi yang berakar jauh dibawah problem mendasar system kapitalisme, telah membawa mayoritas manusia di bumi dalam kemiskinan dan beban ekonomi yang terlampau berat, terutama kaum pekerja dan masyarakat miskin negara selatan.

Di Indonesia, respon pemerintah terhadap krisis tidak mencerminkan kepentingan mayoritas rakyat. Beberapa langkah penyelamatan ekonomi SBY, bukannya membentengi kepentingan nasional dari gempuran krisi, tapi malah mengalihkan beban krisis di AS ke pundak rakyat miskin Indonesia, termasuk kaum pekerja. Salah satu sektor yang paling terancam dan mengkhawatirkan adalah industri nasional, yang begitu bergantung kepada ekspor dan investasi dari luar.

Solusi Neoliberal
Setelah puluhan tahun institusi kekuangan asing mengontrol makro-ekonomi Indonesia, setidaknya dalam bentuk deregulasi yang dipraktekkan pemerintah Indonesia, kini mereka kembali membimbing pemerintah menjalankan scenario penyelamatan ekonomi yang sesuai dengan kehendak AS dan lembaga keuangan tersebut. Di sektor industri, pemerintah mencoba mempertemukan kehendak investor asing dengan kekhawatiran pengusaha nasional, dengan mengalihkan beban krisis kepada kaum pekerja, dengan menerbitkan SKB 4 Menteri. Kebijakan baru ini, akan menciptakan kelenturan terhadap negosiasi upah dan keleluasaan bagi pengusaha untuk menerapkan upah murah, tanpa campur tangan negara lain.

Pemerintah mau menegaskan, bahwa negara “lepas tangan” terhadap persoalan perburuhan, sebagai harga yang harus dibayarkan untuk keberlanjutan industri nasional. Fikiran pemerintah ini, yang sayangnya didukung secara naïf oleh sejumlah SB/SP besar, memindahkan kegagalan pemerintah dalam memicu industri nasional, kepada mekanisme “kelenturan” pasar tenaga kerja, sebagai salah satu cara keberlangjutan industri.

Lantas, dengan cara itu, pemerintah yakin bahwa keberlansungan industri dibawah kendali pengusaha, dengan menerapkan pola akumulasi primitif, dapat membawa industri nasional tetap survive hingga krisis berakhir. Pendeknya, pemerintah ingin industri nasional tetap bertahan melalui liberalisasi pasar tenaga kerja, menyerahkan kesejahteraan pekerja pada mekanisme pasar.

Kebijakan Ngawur
SKB empat menteri bukannya membimbing industri nasional tetap “survive”, malahan akan mempercepat ajalnya. Hasilnya sudah bisa ditebak, akan terjadi penurupan upah yang cukup signifikan, kemudian menjatuhkan daya beli masyarakat secara umum, yang akhirnya meruntuhkan ekonomi secara umum.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sehubungan dengan SKB empat menteri ini. Pertama, dalam hal negosiasi, seharusnya dipertimbangkan soal equal playing field antara pengusaha dengan pekerja. Di manapun, termasuk di negara industri maju, pengusaha dan pekerja tidak dalam posisi seimbang dalam bernegosiasi. Energi tambahan bagi buruh bernegosiasi adalah organisasi, pemogokan, dan aksi massa, tapi hal –hal tersebut selamanya direfresi oleh pemerintah dan pengusaha.

Data yang dikeluarkan FES, pada tahun 2002, menunjukkan, jumlah buruh yang menjadi anggota serikat baru mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Dengan persentasi buruh berorganisasi yang begitu kecil, belum mempertanyakan konsistensi serikat buruhnya, sudah dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum buruh berada di dalam mulut singa, ketika bernegosiasi dengan pengusaha.

serikat buruh/SP berada dalam posisi lemah, terutama akhir-akhir ini, setelah beberapa kali perjuangan ekonomi dan perjuangan politik mengalami kekalahan. Gerakan buruh benar-benar berada di situasi industrial yang begitu pelit, yang tidak memberikan konsesi dan kompromi dalam ukuran minimal sekalipun.

Kedua, Serikat Buruh (SB/SP) yang punya porsi dalam lembaga tri-partit, dan sedikit mendapat pengakuan didepan pengusaha, adalah SB/SP yang masih kuat terkontaminasi oleh konsep hubungan industrial pancasila (HIP) orde baru. SB/SP ini, dalam beberapa kasus, ketika mewakili anggotanya yang terlibat dalam perselisihan industrial, tidak segan untuk berkompromi dengan pengusaha dan mengkhianati anggotanya. SB/SP tersebut sudah lama ter-aristokrasi.

Ketiga, upah pekerja selalu menjadi komponen dari biaya produksi yang selalu ditekan, padahal komponen upah hanya menyumbang 8% sampai 10% biaya produksi. Sementara biaya produksi terbesar adalah pungutan liar dan perizinan yang mencapai 35% hingga 40%. Seharusnya pemerintah serius memberantas pungli dan perizinan, sebagai salah satu jalan melepaskan beban industri nasional.

jika dalam kebijakan upah minimum saja, yang juga dikontrol oleh pemerintah, pengusaha banyak yang tidak mengindahkan kebijakan upah minimum, maka bagaimana dengan mekanisme bipartit. Sudah bisa ditebak hasilnya; pengusaha akan cenderung menekan upah, meskipun perusahaan dalam kondisi cukup membaik, karena yang membimbing pengusaha adalah pemujaan terhadap akumulasi profit.

Solusi Anti-Neoliberal
Industri dalam negeri, jauh sebelum krisis financial, telah cukup menderita akibat kebijakan neoliberalisme. Liberalisasi ekonomi yang berjalan cukup cepat, telah menurunkan kemampuan industri nasional, dan membawa pangsa pasar domestik dikuasai oleh asing. Sebelumnya, pemerintah SBY pun menyerang industri dalam negeri, dengan menaikkan harga BBM, tingginya bunga dan sulitnya akses kredit, pungli dan korupsi, dan pemadaman listrik bergilir.

Jadi, penyakitnya sebenarnya bersumber pada kebijakan ekonomi neoliberal, yang diyakini oleh pemerintah dan tim ekonominya hingga sekarang. Sumber penyakit ini, yang dengan kiprahnya secara global sedang runtuh, memerlukan keberanian politik dari pemerintah untuk merumuskan langkah-langkah konkret, sebagai perisasi baja terhadap ekonomi nasional.

Menurut saya, ada beberapa langkah alternatif terhadap SKB 4 Menteri yang sepatutnya dilakukan pemerintah, untuk mengeluarkan ekonomi nasional dari kerentanan dipukul oleh krisis, antara lain; pertama, memberikan kelonggaran terhadap industri nasional, terutama dari jepitan neoliberal, dengan melakukan proteksi dan jaminan pasar terhadap produksi dalam negeri.

Kedua, memberikan jaminan pasokan energi yang murah kepada industri. Ini meliputi BBM, gas, batubara, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya untuk industri. Kebijakan liberalisasi sektor energi harus dicabut, termasuk orientasi ekspor migas harus dihentikan dan diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan domestik.

Ketiga, memberantas korupsi, pungli dan pola pezinan yang birokratis yang sudah lama menggerogoti industri nasional. Insider trading/brokerisasi di BUMN harus dibersihkan.

Keempat
, menaikakkan upah pekerja secara nasional, dengan upah minimum nasional (UMN) sebesar Rp. 1,2 juta (berdasarkan survey FNPBI), untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Kelima, memicu industrialisasi nasional, dengan bertumpu pada sektor pertanian sebagai dasar dan industrialisasi sebagai arah. memberikan insentif bagi perusahaan industri yang berorientasi ekspor, berupa penghapusan tariff ekspor dan peningkatan tariff impor barang sejenis.

keenam, menghentikan privatisasi terhadap seluruh perusahaan milik negara, dan mulai memperluas perusahaan layanan sosial, untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

Solusi-solusi diatas, seperti juga tawaran program-program kami sebelumnya, tidak akan murni berjalan jika tidak ada usaha memutar-haluan ekonomi yang sebelumnya mengikuti jalan neoliberalisme, untuk lebih berdikari, mandiri, dan memenuhi kebutuhan rakyat.

Gempa Century dan Kejahatan Korporasi

Oleh: Rudi Hartono
Gempa century, yang kekuatannya tidak bisa diukur dengan skala richter, telah mengguncang perekonomian Indonesia, khususnya sektor perbankan. Bila gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter menyebabkan kerugian sebesar Rp2,031 triliun, maka gempa century menyebabkan 6,7 triliun uang rakyat menghilang entah kemana.


Meskipun membawa dampak mengerikan, gempa century belum mendapat penanganan sebagaimana mestinya, bahkan terkesan dimandekkan. Menurut isu yang beredar luas, gempa century melibatkan sejumlah nama pejabat penting di pemerintahan. Sehingga, apabila gempa century ini diungkit-ungkit, maka dapat menyebabkan sunami politik yang maha besar.

Di Bawah Permukaan

Sejak mencuatnya kasus ini, pemerintah berupaya melokalisir dan menutupi kasus ini di tingkat permukaan. Kejadian gempa bumi di sejumlah wilayah Indonesia, khususnya jabar dan sumut, yang menyedot begitu besar perhatian publik, menyebabkan perhatian terhadap kasus ini juga mengecil.

Lebih jauh, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan membuat gebrakan, justru sedang berhadapan dengan sandiwara “kriminalisasi”. Selain dijerat dengan beraneka tuduhan yang tidak terbuktikan, KPK juga diperhadapkan dengan pelucutan wewenang di dalam UU Tipikor yang baru.

Sementara itu, DPR yang diharapkan bersuara keras dan riuh mengenai persoalan ini, dalam periode mendatang, akan diisi oleh partai-partai yang sebarisan dengan pemerintah. Akibatnya, parlemen akan berjalan menurut kepentingan koalisi, dan menggelar aksi “tutup mulut” terhadap segala keputusan pemerintah, termasuk mengubur kasus century.

Dengan begitu, isu century akan terpendam sebagai persoalan diagnosis penyelesaian krisis yang salah dosis, sementara persoalan criminal dan skandal politisnya akan tertutup rapat di dalam peti “pengalihan isu”. Jika perdebatan diagnosis penyelesaian krisis ekonomi yang mengemuka, maka ujung-ujungnya adalah “pemaafan” atau pembiaran.

Sementara persoalan kriminalnya, kendati melibatkan begitu banyak pejabat politik dan tokoh penting pemerintahan, termasuk menkeu, Sri Mulyani, dan wakil presiden, Budiono, hanya akan berhenti pada penangkapan pejabat rendahan.

Kejahatan Ekonomi


Gempa century telah membuka kedok beberapa bandit di bidang ekonomi, yang mengeruk keuntungan luar biasa dari hasil persekongkolannya dengan pejabat pemerintah, khususnya pengambil keputusan ekonomi.

Kejadian ini, yang juga terjadi di belahan dunia kapitalis yang jauh lebih maju, seperti di wall street sana, adalah kecenderungan utama dalam dinamika sistim kapitalisme itu sendiri. Mantra-mantra “good governance” maupun “perang melawan moral hazard”, kini tidak mampu lagi mengantisipasi perilaku menyimpang dari korporasi, yang memang dimungkinkan dan difasilitasi oleh sistim kapitalisme itu sendiri.

Dalam neraca rugi-laba, keuntungan harus lebih besar daripada komponen biaya. Ini kenyataan terdengar sederhana tapi berat. Kenyataan ini kemudian memunculkan penyimpangan, antara lain teknik akutansi “kemitraan”-nya Andrew Faston, eksekutif financial enron, yang sebenarnya merupakan mekanisme untuk menyingkirkan biaya dan utang dari neraca. Ada lagi penyimpangan model lain, seperti yang dilakukan oleh world[dot]com, yaitu menyamarkan biaya sebagai investasi.

Ada lagi yang lebih kasar, seperti penipuan yang dilakukan Bernard Madoff, pemilik lembaga investasi Bernard L. Madoff Investments Securities LLC, yang menggelapkan uang sebesar 550 miliar US dollar. Disamping itu, beberapa deretan kejadian serupa juga bermunculan; raibnya miliaran dolar dari Stanford International Bank di Antigua, perusahaan Sunwest yang menggelapkan dana sebesar 300 juta dollar, dan sebagainya.

Dalam kasus century, seperti yang berulangkali ditegaskan bapak Yusuf Kalla, adalah sebuah kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri, dan sudah diketahui sejak lama oleh pihak pengawas perbankan, bank Indonesia (BI). Sehingga, siapapun yang merestui pemberian dana talangan Rp6,7 miliar kepada bank ini, sebetulnya sudah masuk dalam persekongkolan criminal.


Kebijakan neoliberalisme dikawal oleh kebijakan deregulasi dan pemanjaan terhadap sektor privat (baca, swasta). Dengan begitu, praktek-praktek tersebut, mengutip Walden Bello, akan mengikis pemisah yang disebut “dinding api” (Firewalls) antara pejabat korporasi dengan pejabat politik, antara auditor dengan yang diaudit, antara analis saham dengan pialang saham, dan sebagainya. Tidak ada lagi pemisah antara moral penjahat dan pejabat penegak hukum, antara mafia dan politisi.

Potensi “Erupsi”

Kejahatan yang disimpang di bawah permukaan, mirip dengan magma yang dibiarkan terpendam di bawah perut bumi. Dan semakin banyak magma yang terkonsentrasi dan terakumulasi, maka akan mendorong terjadinya “erupsi”.

Meskipun untuk sementara waktu SBY berhasil menutupi kasus ini, dan seolah-olah dia sukses melindungi orang-orang terbaiknya, tetapi ini hanya menciptakan keretakan. Pertama, kejadian ini tetap menandai sebuah perampokan uang rakyat secara besar-besaran, bahkan dilakukan dibawah panji-panji pemerintah bersih dan professional. Ini adalah kejahatan ekonomi yang melibatkan sejumlah pejabat politik di bidang ekonomi, yaitu mereka-mereka yang selama ini dianggap bersih. Dengan kejadian ini, tidak ada lagi batas terakhir “kredibilitas politik” untuk lima tahun pemerintahan SBY-Budiono mendatang.

Kedua, pemenjaraan atau kriminalisasi terhadap pejabat KPK, dan upaya untuk memandulkan wewenang dan fungsi lembaga ini, telah mengikis kepercayaan publik terhadap “kebersihan” pemerintahan SBY di masa mendatang. Padahal, persoalan pemberantasan korupsi merupakan jualan utama SBY selama ini, terutama untuk mengikat dukungan kelas menengah dan kalangan atas masyarakat kita.

Akhirnya, dengan menipisnya kredibilitas politik pemerintahan ini, yang tentunya menggenapi kegagalan pemerintahan ini dibidang ekonomi sebelumnya, akan membawa pemerintahan ini dalam situasi yang sangat rawan “erupsi” krisis politik.

Pertanyaanya kemudian; apakah erupsi politik yang terjadi ini berupa letupan (explosive), ataukah berbentuk lelehan (kompromi politik).

*) Penulis adalah peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pengelola media online: Berdikari Online dan Jurnal Arah Kiri.

Kamis, 15 Oktober 2009

Relevankah Ekonomi pasar sosial?

Beberapa hari yang lalu, dalam Workshop Mahasiswa Mengagasa Jalan Baru Indonesia, yang digelar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dimana fadhil Hasan menjadi pembicara untuk sesi ekonomi, ia melemparkan kesimpulan bahwa sistim neoliberal sudah gagal. Ketika sebuah pertanyaaan di arahkan kepadanya, menyinggung soal alternatif ekonomi, ia dengan jelas merujuk pada Ekonomi Pasar Sosial (EPS) sebagai solusi.

Menarik, setidaknya buat saya, karena gagasan EPS yang identik dengan kebijakan pemerintahan sosial demokrasi di Jerman kini sedang mengalami krisis. Artinya, sebuah model ekonomi yang terbukti salah hendak dipakai untuk menyembuhkan masalah ekonomi yang lebih ruwet ketimbang Jerman, yaitu Indonesia.


Jerman dan Ekonomi Pasar Sosial
Ekonomi pasar sosial (Epasos) mulai dibangun di Jerman paska perang dunia ke II. Konsep ini dikenalkan dalam kongres Godesberg, tahun 1958, setelah veteran-veteran kiri SPD yang tetap komitmen pada perjuangan klas dan menolak ekonomi pasar meninggalkan partai, sedangkan Jerman barat memilih berpartisipasi pada aliansi barat. Ekonomi pasar sosial (EPS) dikampanyekan sebagai alternative terhadap laissez-faire dan sosialisme.

ekonomi pasar sosial mencurigai kompetisi bebas dan ide laissez-faire, tapi menghendaki peran negara yang kuat dalam membentuk dan menjamin aturan ekonomi pasar, yang disebut “ordnung” (kebijakan membentuk tatanan hukum bagi perekonomian), yang tidak akan mencampuri mekanisme pasar, namun lebih menjamin bentuk-bentuk kebebasan perjanjian dan hak-hak kepemilikan pribadi dari pihak lain [1].

Pada tahun 1969, melalui koalisi dengan partai demokrasi Liberal (FPD), sebuah sayap partai liberal, SPD berhasil mengontrol pemerintahan. Segera program EPS diperkenalkan, terutama dengan isu memperluas demokrasi dan redistribusi kekayaan. Pada masa kanselir Willy Brandt, SPD memperluas hak-hak pekerja dengan membentuk dewan pabrik dan hak menentukan bersama berjalannya pabrik besar. Ia menggunakan pendekatan Keynesian dalam strategi investasi, yaitu memperluas pembangunan infrastruktur publik, pendidikan, dan jaringan pengaman sosial yang konferehensif, seperti pendidikan, kesehatan, asuransi kecelakaan, pengangguran, dan dukungan dana bagi keluarga dan anak-anak[2] .

Akan tetapi, Jerman dibawah pemerintahan sosial demokrasi tetap merupakan masyarakat kapitalisme yang tersusun dan hierarkis; tetapi polarisasi sosial, dalam pengertian mengikuti laissez-faire barat, cukup berkurang. Pada pertengahan 1970-an, kapitalisme benar-benar sedikit dijinakkan dari keserakahannya. Perkembangan ini berjalan berkat pembangunan yang berkesibambungan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tapi periode ini berlansung singkat, dibawah Helmut Schmidt, pemerintah berhadapan dengan inflasi yang tinggi, pengangguran yang terus meningkat, dan deficit anggaran yang begitu besar. Dari 1974 hingga 1982, pengangguran meningkat dari 4,7% menjadi 8,2 %, serta upah pekerja yang terus jatuh sejak 1981.

Schmidt mencoba mengatasi perkembangan ini, antara lain, dengan mengeluarkan dana pinjaman bagi investasi infrastruktur public dan pengurangan pajak bagi aktifitas bisnis. Akan tetapi, upaya Schmidt tidak memperbaiki keadaan, malahan dia harus jatuh dari kekuasaannya. Setelah ini, kekuasaan SPD berakhir dan digantikan oleh pemerintahan kanan CDU-FPD, yang menaikkan Helmut Kohl's.

Di bawah Helmut, kondisi jerman bukannya membaik, apalagi dengan integrasi Jerman Timur, melainkan membawa kesulitan ekonomi yang cukup parah. Secara nasional, pengangguran meningkat menjadi 11,4% pada tahun 1994 (dan 19,5% di Jerman Timur), serta upah pekerja jatuh 7% sejak tahun 1992. kehancuran ini memberikan angin pada kembalinya SPDdalam pemerintahan. SPD berkoalisi dengan partai hijau untuk membentuk pemerintahan, dan menjanjikan membawa Jerman pada “Inovasi dan Keadilan”, dengan reformasi pajak, pension, sistim pendidikan, serta perundangan yang mengatur pasar tenaga kerja.

Dibawah Schröder, orientasi SPD semakin mengarah pada kebijakan neoliberal. Dibawah kritik kelompok kiri SPD, Schröder bergabung bersama Blair untuk membangun jalan ketiga; dengan menolak pendekatan Keynesianism dan mulai mendekati mekanisme pasar dan globalisasi. Pertumbuhan ekonomi menurun dari 2,9% pada tahun 2000 menjadi nol persen pada tahun 2003, sedangkan pengangguran mencapai 10% (4,4 juta) pada tahun yang sama.

Stagnasi ekonomi sudah di depan mata, Schröder mengantisipasinya dengan serangkaian reformasi, seperti pemotongan pajak, pencabutan subsidi, dan deregulasi pasar tenaga kerja. Upaya itu tetap mendapati kegagalan. produksi industri turun 2,1% pada oktober 2002. sekitar 37.000 perusahaan kolaps pada tahun 2002, termasuk bebeapa perusahaan besar seperti Kirch Media, Babcock, Fairchild Dornier dan Herlitz, dan 650.000 orang kehilangan pekerjaan. Pengangguran resmi tercatat 4,2 juta jiwa [3].

Krisis yang dialami pemerintahan Schröder menciptakan krisis kepercayaan bukan saja anggota partai, tapi juga pekerja dan rakyat Jerman. 38 ribu kadernya meninggalkan partai pada tahun 2003. pada pemilu 2004, perolehan suara SPD hanya 21,4% (turun dari 30,7% pada tahun 1999). Ini merupakan kekalahan terburuk sejak 1945[4] .

Keterbatasan-Keterbatasan Ekonomi Pasar Sosial

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan; bahwa; (1). EPS social tidak dapat menghindar dari krisis, meskipun lebih lambat dibanding dengan AS, tapi sejumlah reformasi-reformasi dan bongkar pasan sistim pajak dan jaminan social oleh pemerintah Jerman membuktikan bahwa Epasos sudah harus ditinggalkan. (2). Partai Sosial Demokrat (SPD) yang mencomot EPS dan mempraktekkannya dalam beberapa puluh tahun kini pun mengalami krisis dan mulai ditinggalkan pendukung fanatiknya, terutama yang berlatarbelakang kiri.

EPS, seperti juga Keynesian, kapitalisme Negara, merupakan model-model ekonomi yang tercipta, dalam berbagai penyesuaian-penyesuaian, untuk mengantisipasi dan menunda krisis yang inheren dalam sistim kapitalisme. EPS yang dipraktekkan Jerman, mungkin lebih mirip dengan neoliberalisme yang sedikit jinak, yang disesuaikan dengan kultur politik masyarakat Jerman atau ajaran social kristen; jiwa sosialnya tinggi.

Di dalam sistim kapitalisme, ada 3 penyebab krisis yang inheren dalam sistim tersebut, yakni; (1). Ketidakseimbangan antara produksi kapitalis dengan kebutuhan real masyarakat, yang selalu dijelaskan dengan anarkisme produksi. (2). Ketidakseimbangan antara keluaran (kapasitas produksi) dengan kemampuan konsumsi massal—yang parameternya adalah upah (daya beli) masyarakat. (3). Akumulasi berlebihan, yakni tidak cukupnya produksi nilai lebih, dibandingkan dengan jumlah capital yang diakumulasikan.

Di dalam kapitalisme, mekanisme pertukaran dan distribusi diatur via mekanisme pasar yang kompetitif. Kompetisi pasar adalah aspek penting dan mendasar dalam kapitalisme, yang mengatur bukan saja distribusi, tapi juga soal penentuan harga dan panduan soal produk yang di mana yang perlu dihasilkan dan tidak. Dengan kepemilikan pribadi satu pihak, maka tujuan keterlibatan individu dalam mekanisme pasar yang kompetitif adalah memaksimalkan keuntungan (profit).

Dalam situasi tersebut, EPS bukan untuk mengendalikan pasar agar sedikit jinak, seperti yang diyakini sejumlah intelektual di Indonesia, tapi justru menjamin kebebasan pasar. Makna kebebasan disini adalah jaminan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi, pasar terbuka, kebebasan memasuki dan keluar dari pasar, serta kebebasan membuat kontrak-kontrak. Karena sifat pasar yang hiper-aktif, kompetitif, dan anarkis, sehingga berpotensi mendorong kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan hilangnya jaminan social. Maka, EPS menawarkan beberapa katup pengamannya, diantaranya; (1). pengaturan soal monopoli; maka pemerintah harus membentuk aturan anti monopoli dan lembaga independent yang mengawasi persaingan usaha agar tidak mengarah pada monopoli (mirip KPPU, di Indonesia). (2). Redistribusi kekayaan; EPS menyadari bahwa distribusi dibawah mekanisme pasar tidak akan melahirkan keadilan, maka Aucken mengusulkan paket redistribusi kekayaan, salah satunya dengan pajak, meskipun ia menentukan limitnya agar tidak menggerus investasi produktif. (3) peraturan biaya eksternalisasi, terutama penggunaan sumber daya alam, kesehatan dan keselamatan kerja, serta soal waktu kerja.

Model EPS sendiri di Jerman sedang mengalami krisis. Dari tahun ke tahun, pemerintah selalu mendorong reformasi pajak, hingga diprediksi bahwa nilai pajak Jerman merupakan terendah keempat di Eropa- 38.6%, yang jauh lebih rendah dengan US pada 46,5%. Untuk pajak personal, yang mencapai 56% pada tahun 1960-an, dan masih 53% pada masa akhir jabatan Kohl’s, dan pada tahun 2005 turun menjadi 42%. Reformasi pajak yang dilakukan pemerintah Jerman, ternyata juga tidak mendorong sector real berkembang, malah sebaliknya, semakin meningkatkan pengangguran, kemiskinan, dan hilangnya sejumlah layanan social, akibat macetnya distribusi kekayaan. Di masa lalu, sistim pajak telah mengikat masyarakat Jerman agar tidak terseret pada filosofis ekonomi “yang kaya semakin kaya”, tapi di masa kini, sistim pajak lebih berorientasi memberikan fasilitas kepada pemimpin bisnis, korporasi besar, perusahaan perbankan, untuk menarik dananya dan menginvestasikan pada sector yang menggiurkan, yakni kenaikan harga saham.

Kesuksesan EPS di Jerman dalam beberapa periode, terutama dalam menekan pengangguran dan mempertahankan industrialisasi, terletak pada investasi social (pembangunan infrastruktur publik, sistim jaminan social, dll) besar-besaran dari Negara, karena periode booming ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketika periode itu berlalu, segera ekonomi Jerman berhadapan dengan stagnasi ekonomi.

Jerman dan Krisis Finansial

Salah satu lapangan ujian bagi ketangguhan ekonomi suatu Negara adalah seberapa kebal terhadap pengaruh krisis financial di AS. Ketika badai krisis financial mengamuk, beberapa petinggi dan ekonom eropa memuji-muji bahwa EPS akan manpu menyelamatkan Jerman dari krisis, bahkan ada yang menganjurkan agar EPS dipraktekkan pada tataran internasional, sebagai solusi ekonomi global. Hingga bulan September, beberapa ekonom Jerman tetap optimis; bahwa tidak ada bank swasta dan sector public tetap solid dan aman, bahkan beberapa Bank yang menyimpan dana public, seperti Sparkasse dan Volksbank tetap aman. Juga, di Jerman belum ada tanda-tanda gelembung perumahan, atau tanda-tanda kekacauan dramatis dari harga properti.

Namun, optimisme ini berakhir karena terjadinya krisis likuiditas yang melanda HRE dan mengarahkan pada kebangkrutannya. Dana 3,1 juta US$ hilang, tanpa ada hasil. Sektor industri Jerman, terutama otomotif (Opel, Ford, BMW dan Mercedes-Benz) sedang mengalami kesulitan, akibat penuruan permintaan (omzet) yang berlansung drastis. Perusahaan software SAP, yang berbasis di Jerman Barat, telah bereaksi atas jatuhnya permintaan dengan membekukan penyewaan. Lufthansa juga menderita kerugian akibat penurunan travel bussines dan bisnis kargo[5] .

Beberapa lembaga penelitian di Swiss, Austria, dan Jerman, telah mendokumentasikan laporan yang menyebutkan prediksi pertumbuhan ekonomi Jerman, pada tahun 2009, hanya 0,2%, serta jumlah pengangguran yang meningkat drastic. Bahkan, Hans-Werner Sinn, kepala institute penelitian ekonomi (IFO), yang berbasis di Munich, membuat kesimpulan catatan “situasi sudah sangat mencemaskan”. Nilai ekspor Jerman sendiri sudah jatuh 2,5% hanya untuk bulan Agustus saja[6].

Apa yang disebutkan disini, meskipun belum mewakili keseluruhan, namun sudah dapat menjelaskan bahwa ekonomi Jerman benar-benar terperosok dan tak dapat melepaskan diri dari krisis financial. EPS tidak dapat membuat pertahanan ekonomi, yang melindungi kepentingan nasional dan rakyatnya, dari serbuan krisis. Hal ini terjadi, selain karena Jerman merupakan bagian dari sistim global yang sedang krisis, juga karena beberapa pendekatan ekonomi pemerintah Jerman serupa dengan pemerintahan kapitalis di AS maupun di eropa.

kesimpulan

Sudah hampir menjadi kesimpulan, bahwa sistim neoliberal telah menjadi penyebab utama dari masalah ekonomi di Indonesia. Kesimpulan ini, seharusnya menjadi titik berangkat untuk mendiskusikan jalan ekonomi seperti apa yang bisa menjadi alternative, diluar neoliberalisme yang gagal tersebut. EPS yang berdiri pada mekanisme pasar liberal tentu juga bernasib sama dengan neoliberalisme, sehingga perlu dicoret dari daftar pencarian.

Menurut saya, yang terperting dalam pencarian sistim ekonomi alternatif setidaknya memenuhi kriteria berikut; pertama, memperjuangkan pengambil-alihan kendali atas control sumber daya alam, yang sebelumnya dikuasai dan dieksploitasi asing, untuk dimanfaatkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat dan dalam negeri. Kedua, mengutamakan prinsip “kemandirian” dalam pengolahan sumber daya ekonomi, strategi industrialisasi, serta kerjasama ekonomi dan perdangan dengan bangsa-bangsa lain. Ketiga, memperbesar transfer sumber daya ekonomi kepada rakyat, dengan memperbesar anggaran investasi social, seperti pembangunan infrastruktur public, layanan pendidikan dan kesehatan, perumahan, kenaikan upah pekerja, sarana produksi bagi petani, dll. Keempat, memberikan tempat yang luas bagi partisipasi rakyat, terutama dalam mendiskusikan prioritas perencanaan ekonomi, pembangunan, dan pengalokasian anggaran.

Mohon Maaf, Atas segala kekurangannya!


Rudi Hartono, Anggota Redaksi BERDIKARI Online dan Pengelolah Jurnal Arah KIRI