Oleh: Rudi Hartono*)
Mitos-mitos neoliberal satu persatu tercampakkan. Setelah rakyat Indonesia menyaksikan kegagalan sistim ini mengatasi persoalan ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dsb), sekarang neoliberal terdiskreditkan soal korupsi
Administratur penyokong neoliberal di Indonesia, pemerintahan SBY-Budiono, baru saja terhempas oleh dua badai besar; kasus century dan kriminalisasi terhadap KPK. Kedua kejadian ini berhubungan erat dengan persoalan penegakan korupsi.
Anti Korupsi
Neoliberal mulai menjadi ideology yang akrab dengan kekuasaan adalah ketika Orde Baru berkuasa. Pada saat itu, neoliberal berusaha keras merangkul orde baru dengan menempatkan sejumlah intelektual dan tehnokrat didikan mereka ke dalam pemerintahan, khususnya di tim ekonomi.
Para intelektual dan teknokrat ini, yang dalam istilah Arif Budiman disebut “teh botol- tehnokrat bodoh dan tolol, mulai menjadi pembisik penting di pemerintahan, dan membangun basis intelektul mereka di sejumlah kampus terkemuka di negeri ini, terutama Universitas Indonesia (UI).
Hanya saja, memang, Soeharto tidak sepenuhnya mengikuti petunjuk mereka. Pada saat itu, menurut Walden Bello, negara menjadi factor kunci dalam kehidupan ekonomi, dengan kontribusi perusahaan negara terhadap GDP sebesar 30% dan setidaknya non-agriculture mencapai 40% GDP. Disamping itu, belanja modal mencapai 47% dari total anggaran pemerintah, sementara negara tetangga lainnya, Philipina, hanya berkisar 16%. Inilah periode yang disebut dengan depelovmentalisme, sebuah pendekatan yang lebih dekat dengan aliran Keynesian.
Setelah Soeharto tumbang, para ekonom neoliberal mengunci perdebatan-perdebatan penting soal asal muasal krisis ekonomi. Menurut mereka, penyebab semua persoalan krisis ini berlokasi pada apa yang disebut “kapitalisme kroni”, atau penggunaan negara sebagai agen untuk memajukan kepentingan swasta kroni atau pebisnis yang dekat dengan sang diktator.
Dari situ, mereka mulai menyerang subsidi dan proteksi sebagai kejahatan ekonomi, dan menempatkan negara sebagai agen jahat dari kelompok kepentingan; rejin korup, parpol, dan pengusaha kroni.
Semenjak itu pula, intelektual neoliberal berkotbah mengenai pentingnya memerangi segala bentuk kapitalisme kroni, khususnya kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pada level politik, mereka menuntut dilakukannya pemberantasan korupsi secara sistematis dan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Ini menyuburkan konsep “clean government” dan “good governance”.
Dalam perkembangannya, neoliberal menghendaki dikurangi orang-orang parpol atau orang-orang yang memangku kepentingan di jabatan eksekutif, dan kemudian digantikan oleh orang-orang bersih dari kepentingan dan professional, yaitu intelektual dan tehnokrat.
Administratur Neolib Kena Batunya
Sebelum menjalani pelantikan pada tanggal 20 Oktober lalu, Wakil Presiden yang ditunjuk mendampingi SBY, Budiono, diduga terlibat dalam skandal perbankan paling memalukan, yaitu kasus century.
Dalam kasus century ini pula, Sri Mulyani, yang menempati deretan tehnokrat terbaik administratur SBY, juga diduga terlibat dalam kasus menggemparkan ini. Meski sudah banyak yang menyebutkan keterlibatan mereka, tetapi kedua orang ini belum pernah diperiksa oleh penegak hukum.
Belum selesai “gempa century” ini menggegerkan dunia penegakan hukum Indonesia, publik kembali dikagetkan dengan perang opensif kepolisian dan kejaksaan untuk membungkam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam rangka memukul mundur KPK, aliansi jahat yang biasa disebut “buaya” mencoba membuat rekayasa untuk mengkriminalkan lembaga ini, dan mengorbankan beberapa orang pimpinan mereka yang berdedikasi, anti korupsi, dan loyal kepada negara.
Tanpa memegang bukti dan alasan yang kuat, Polisi tiba-tiba menangkap dan menahan dua petinggi KPK, Bibit dan Chandra, yang dikenal getol mengobarkan perang melawan koruptor-koruptor klas kakap.
Ketika KPK mulai terpojok, presiden justru tidak memberikan pembelaan sama sekali dan terkesan mendiamkan pertarungan tidak berimbang ini. Publik memaknai ini sebagai pembiaran, sebuah sikap tidak sehat ketika “buaya” mau menerkan “cicak”.
Dan, rupanya, rekaman dan transkrip pembicaraan antara Anggodo Widjojo (adik buron KPK, Anggoro Widjojo) dengan Wisnu Subroto (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen), dan mencatut sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari Polri, Kejagung, hingga RI1 (baca, presiden).
Bukti ini menjelaskan adanya rekayasa terhadap penangkapan dua pimpinan KPK non-aktif, Bibit dan Chandra, dan skandal ini melibatkan sejumlah petinggi kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu, diluar dugaan, presiden dan sekutunya di parlemen sedang berusaha menggolkan RUU Tipikor yang baru. Menurut sejumlah pengamat, RUU ini punya kecenderungan untuk memangkas peranan dan fungsi KPK.
Ini semakin menandaskan posisi yang sebenarnya dari sang presiden mengenai masa depan agenda pemberantasan korupsi. Ketika harapan sebagian besar rakyat dititipkan di KPK, presiden justru mencoba mengeliminasinya.
Hal ini menandaskan beberapa hal; pertama, ketika agenda pemberantasan korupsi sudah mulai menukik dan mulai menyasar sejumlah tokoh di dalam kekuasaan, maka kekuasaan neoliberal mulai membangun tanggul pembatasan untuk menghentikan agenda ini.
kedua, mulai diketahui bahwa agenda pemberantasan korupsi rejim neoliberal adalah bersifat terbatas dan targeting. Artinya, mereka mereka membuat agenda pemberantasan korupsi ini sebatas di arena-arena tertentu dan targetnya pun kadang-kadang politisi dari partai oposisi.
Kemarahan Rakyat
Dalam waktu singkat, kita menyaksikan sebuah gelombang besar kemarahan rakyat sanggup menerobos tembok-tembok tinggi rejim politik korup berkedok “good governance”. Segera setelah berita penahanan Bibit dan Chandra menyebar, dukungan nasional pun mengalir dari segala arah dan berbagai lapisan sosial.
Penguasa pun berharap pada keampuhan trik lama; menjelaskan panjang lebar di media massa. Saat itu, sang penguasa berkeyakinan bahwa dia bisa mengendalikan situasi dan mengatur “mood” massa rakyat melalui penampilan mengesankan, ekspresif, dan nada suara yang diatur di TV dan media massa.
Sayangnya, pidato sang penguasa tidak berhasil membendung kemarahan, malahan semakin menambah kemarahan itu. Penjelasan berulang-kali dari Kapolri pun tidak bisa merasionalisasi keadaan.
Di jejarang sosial dunia maya, Facebook, salah satu group yang dibuat untuk mendukung Bibit dan Chandra langsung mendapatkan ratusan ribu pendukung. Saat menulis artikel ini, jumlah pendukung di group Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto sudah berjumlah 752 ribu orang. Di jejaring sosial lainnya, khususnya Twitter, dukungan besar juga mengalir kepada KPK.
Sejumlah tokoh nasional pun menyatakan keprihatinan. Bahkan, sejumlah intelektual kampus yang selama ini jarang bersuara, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap penahanan ini dan menyesalkan sikap presiden.
Di hari ketiga penahanan Bibit dan Chandra, aksi massa mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia, disertai seruan-seruan umum untuk menggunakan symbol “pita hitam” sebagai bentuk keprihatinan. Di Jakarta, aksi dukungan terhadap KPK terjadi di sejumlah titik, diantaranya di Mabes Polri, kantor KPK, dan bundaran HI.
Memang, kemudian, presiden berhasil menggunakan kartu trupe terakhir, dengan menerima tawaran beberapa pihak untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) untuk mengkalanisasi kemarahan rakyat. Kedepan, TPF ini akan mulai mengambil peran-peran yang dimainkan gerakan protes, dan mulai melokalisir kasus ini pada perdebatan soal penafsiran hukum.
Meskipun begitu, kita patut menghaturkan terima kasih yang begitu besar dukungan melimpah terhadap KPK ini. Ada beberapa hal yang patut dibanggakan; (a). mitos neoliberal sebagai sistem ekonomi yang memerangi korupsi, kapitalisme kroni, dsb, akhirnya terbantahkan juga. Kini neoliberal bergandengan dengan koruptor, dan membangun sebuah rejim politik korup. (b). kredibilitas pemerintahan SBY-Budiono merosot secara drastis. Kedepan, pemerintahan ini akan berhadapan dengan oposisi luas dari masyarakat yang mulai tidak percaya dengan rejim ini. (c). sejumlah lapisan pendukung loyal SBY-Budiono mulai goyah, sebagian sudah bergeser menjadi kritis dan melemparkan mosi tidak percaya terhadap rejim ini.
SBY-Budiono baru 10 hari lebih memulai pemerintahannya, tetapi sebuah embrio oposisi luas mulai mengekspresikan ketidakpercayan. Kejadian ini benar-benar mengikis kredibilitas rejim ini dan sekutu loyalnya di parlemen. ***
*) Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar