Laporan BPK tertanggal 26 September 2009
Ditandatangai oleh Suryo Ekawoto Suryadi sebagai penanggung jawab pemeriksaan.
Proses merger
Bank Century (BC) adalah hasil merger antara Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac.
Izin merger oleh BI sudah bermasalah, yaitu:
• Aset berupa Surat-surat Berharga (SSB) yang macet dianggap lancer untuk memenuhi CAR
• Pemegang saham pengendali yang tidak memenuhi fit & proper test tetap dipertahankan
• Pengurus bank, yaitu direksi dan komisaris ditunjuk tanpa melalui fit & proper
• Laporan Pikko dan CIC yang dinyatakan disclaimer oleh kantor akuntan public (KAP) dijadikan dasar merger.
2 Tahun setelah merger Century langsung mengalami banyak masalah yang oleh BI dibiarkan, bahkan difasilitasi terus.
• 28 Februari 2005 (2 bulan setelah merger) CAR negative 3,25%
• Surat-surat berharga (SSB) senilai USD 203 juta berkualitas rendah, Diantaranya USD 116 juta dikuasi pemegang saham.
• BI menyetujui tidak melakukan Penyisihan Pengahapusan Aktiva Produktif (PPAP), walaupun menurut PBI 2/2/PBI/2005 harus dilakukan PPAP sebesar 100%
• Sejak tahun 2005 s/d 2007 terjadi pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), dan BI tidak mengambil tindakan tegas. Pelanggaran dilakukan setelah Century ditempatkan dalam Pengawasan.
• Setelah Century ditempatkan dalam Pengawasan Khusus pada tanggal 6 November 2008, BI tidak mengizinkan penarikan dana dari pihak terkait yang tersimpan dalam Century (PBI No. 6/9/PBI/2004 yang diubah dengan PBI No. 7/38/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank). Namun setelah itu tetap saja ada penarikan dana oleh pihak-pihak terkait sebagai berikut:
- Rp. 454,898 milyar
- USD 2,22 juta
- AUD 164,81 ribu
- SGD 41,28 ribu
• Pada tanggal 14 November 2008, Robert Tantular (RT) memerintahkan BC cabang Surabaya memindahkan deposito milik salah satu nasabah Century senilai USD 96 juta dari kantor cabang Surabaya-kertajaya ke kantor Pusat Operasional (KPO) Senayan.
• Setelah itu Dewi Tantular (DT) dan RT mencairkan deposito tersebut senilai USD 18 juta pada tanggal 15 November 2008 yang digunakan oleh DT (Kepala Divisi Bank Notes) untuk menutupi kukurangan bank notes yang telah digunakan untuk keperluan pribadi DT; DT telah menjual bank notes ke luar negeri dengan jumlah yang melebihi jumlah yang tercatat, sehingga secara akumulatif terjadi selisih kurang antara fisik bank notes dengan catatan akuntansi. Deposito milik nasabah tersebut kemudian diganti oleh century dengan dana yang berasal dari FPJP.
• Terhadap penyelangara Posisi Devisa Neto yang mestinya didenda RP. 22 Milyar dendanya menjadi Rp. 11 Milyar.
• PBI 6/9/PBI/2004 diubah dengan PBI 7/38/PBI/2005 tentang masalah Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) Century harus ditempatkan pada Pengawasan Khusus pada tanggal 31 Oktober 2005, karena CAR-nya sudah negative, tetapi Pengawasan Khusus baru dilakukan pada tanggal 6 November 2008.
• 14 November 2008, BI mengubah persyaratan CAR untuk memperoleh FPJP dari minimal 8% menjadi ASALKAN CAR POSITIF. Berdasarkan perubahan persyaratan CAR tersebut disalurkan FPJP sebagai berikut:
- 14 November 2009 : Rp. 689,39 milyar
- 17 November 2009 : Rp. 356,81 milyar
- 18 November 2009 : Rp. 187,32 milyar
PROSES PENGAMBIL ALIHAN CENTURY OLEH LPS DENGAN SUNTIKAN DANA RP. 6,72 TRILYUN YANG DRAMATIS
Dalam rapatnya pada tanggal 20 dan 21 November 2008 Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK) memutuskan hal-hal sebagai berikut:
- Century adalah Bank gagal yang berdampak Sistemik
- Diserahkan kepada LPS
- Dan disuntik dana Rp. 6,76 trilyun
Mengapa dikatakan dramatis, karena suasana rapat di KSSK yang bagaikan drama, yakni sebagai berikut:
• Laporan BI kepada KSSK
- Ada pembahasan antara Depkeu dan LPS dalam rapat konsultasi KSSK pada tanggal-tanggal 14, 17, 18 dan 119 November 2008.
- Pada tanggal 20 November 2008 Gubernur BI (Boediono) menulis surat kepada ketua KSSK (menteri keuangan/Sri Mulyani) dengan surat rahasia bernomor 10/232/GBI/Rahasia tentang “Penetapan Status Bank Gagal PT. bank century Tbk dan penetapan Tindak Selanjutnya”.
• Atas dasar surat tersebut KSSK mengadakan rapat konsultasi pada tanggal 20 November 2008 jam 23.00 (hari Kamis) s/d tanggal 21 November jam 05.00 (hari Jum’at)
• Rapat KSSK pada tanggal 21 November 2008 (Jum’at) jam 04.25 WIB s/d 06.00 WIB diawali dengan presentasi BI yang menguraikan BC sebagai Bank gagal dan analisis dampak sistemiknya.
• Dari notulen rapat ternyata bahwa sejumlah peserta rapat lainnya pada umumnya mempertanyakan dan tidak setuju dengan argumentasi dan analisi BI bahwa BC ditengarai berdampak sistemik.
• Reaksi BI ialah : “sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan resiko sistemik atau tidak, karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti”.
• “Yang dapat diukur hanyalah perkiraan biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan”
• “Mengingat situasi yang tidak menentu maka lebih baik mengambil pendekatan kehati-hatian dengan melakukan penyelamatan namun dengan meminimalisir cost”.
• “Keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jum’at sore seperti saran LPS karena BC tidak mempunyai cukup dana untuk pre-funding kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu”.
• Selanjutnya diadakan rapat KSSK pada tanggal 21 November 2008 (Jum’at) jam 04.25 s/d jam 06.00 yang dihadiri oleh Menkeu selaku ketua KSSK, Gubernur BI selaku anggota KSSK dan sekretaris KSSK Kaden Pardede. Rapat ini memutuskan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan menetapkan penanganan BC kepada LPS.
• Keputusan KSSK ditindaklanjti dengan rapat Komite Koordinasi tanggal 21 November 2008 jam 05.30 WIB s/d selesai, dihadiri oleh Menkeu, Gubernur BI dan Ketua Dewan Komisioner LPS sebagaimana telah ditetapkan oleh KSSK, dan untuk selanjutnya penanganan PT. Bank Century Tbk akan dilakukan oleh LPS sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
• Dalam surat Gubernur BI no. 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 (yang dijadikan dasar keputusan KSSK) antara lain mengatakan bahwa untuk menaikkan CAR BC dari minus 3,53% menjadi 8% dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp. 632 Milyar, namun jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pemburukan kondisi BC selama bulan November 2008 (KKG: apakah ini tercantum dalam surat Gubernur BI tersebut, ataukah apa yang dilihat oleh BPK dalam auditnya?)
• Setelah mengajukan BC sebagai bank gagal sistemik pada tanggal 21 November 2008 BI mengajukan data baru mengenai kebutuhan dana untuk penyertaan modal sementara (PMS) LPS dalam rangka penyelamatan BC, sehingga kebutuhan dana meningkat dari Rp. 632 milyar menjadi Rp. 6,76 trilyun. Ini dilakukan secara bertahap berdasarkan Rapat Dewan Komisioner (RDK) LPS, yaitu:
- Tahap I : 24 November s/d 1 Desember 2008 : Rp. 2,77614 trilyun
- Tahap II : 9 Desember s/d 30 Desember 2008 : Rp. 2,201 trilyun
- Tahap III : 4 Februari s/d 24 Februari 2009 : Rp. 1,155 trilyun
- Tahap IV : 24 Juli 2009 : Rp. 630,221 milyar
• Alasan peningkatan kebutuhan dana tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan CAR berdasarkan assesement yang dilakukan BI. Rinciannya sebagai berikut:
1. Posisi tanggal assesement CAR (31/10/08 – 20/11/08), minus 3,53%, kebutuhan PMS Kumulatif 632
2. Posisi tanggal assesement CAR (20/11/08 – 23/11/08), minus 35,92%, kebutuhan PMS Kumulatif 2,655
3. Posisi tanggal assesement CAR (31/12/08 – 27/01/09), minus 19,21%, kebutuhan PMS Kumulatif 6,132
4. Posisi tanggal assesement CAR (30/06/00 – 24/07/09) plus 8,00% kebutuhan PMS Kumulatif 6,762
Dalam surat Gubernur BI No. 101/232/GB/Rahasia tanggal 20 November 2008 (yang dijadikan dasar penyuntikan dana bertahap sampai jumlah Rp. 6,762 Trilyun) tidak memberikan informasi mengenai beberapa resiko CAR. Informasi yang tidak diberikan tersebut adalah informasi penurunan kualitas asset yang seharusnya diketahui oleh BI, antara lain :
• Dugaan rekayasa akuntansi yang selama ini dilakukan oleh Century dengan tidak menerapkan PPAP secara benar
• Dugaan LC fiktif dan kredit fiktif
• Penyimpangan lain yang dilakukan oleh pemilik/pngurus BC sebelum diambil alih oleh LPS.
PENGELUARAN DANA OLEH CENTURY PADA TANGGAL 18 DESEMBER 2008
Dana yang dikelaurakan pada tanggal 18 desember 2008 sejumlah Rp. 2,88 trilyun dikeluarkan oleh Century yang kejelasannya masih dalam audit BPK.
PROSES PENETAPAN CENTURY SEBAGAI BANK GAGAL YANG BERDAMPAK SISTEMIK
• Sejak ditetapkannya century dalam status Pengawsan Khusus pada tanggal 6 November 2008, BI menempatkan seorang Pengawas bank dalam Century, sehingga mempunyai akses terhadap semua data dan informasi.
• Maka pada tanggal 20 November 2008 jam 19.44 Dewan Gubernur BI (DGB) menetapkan Century sebagai Bank gagal atas pertimbangan :
- CAR minus 3,53%
- Tanggal 19 November 2008 Giro wajib Minimum (GWM) Rp. 134 milyar (1,85%)
- Tapi terdapat kewajiban RTGS dan kliring sebesar 40 milyar, sehingga GWM kurang dari 0%
• BI menyuntik dengan FPJP sebesar Rp. 689 milyar – setelah itu penarikan dana nasabah jauh lebih besar.
• Rapat Dewan Gubernur (RDG) menetapkan kerusakan Century berdampak sistemik atas dasar MOU (on Cooperation between yhe Financial Supervisory Authorities, Central bank and finance Ministries of the European Union: on Cross Border Financial Stability tanggal 1 Juni 2008).
4 KRITERIA DALAM MENENTUKAN DAMPAK SISTEMIK DIUKUR DENGAN DATA KUANTITATIF
- Institusi Keuangan
- Pasar Keuangan
- Sistem Pembayaran
- Sektor Riil
Indikator-indikatornya sebagai berikut :
• Fungsi BC dalam industry perbankan tidak penting karena:
- DPB Bank/DPK Industri : 0,68%
- Kredit bank/Kredit Industri : 0,42%
• Hubungan dengan nasabah :
- Kredit modal kerja, 76,58%
- Industri pengolahan, 21,79%
- Restoran dan Hotel, 22,93%
- Jasa-jasa dunia usaha, 28,47%
• Pangsa kreditnya terhadap industri, 0,42%
• Dana BC dari deposito, 84,82%
• Fungsi BC dapat dengan mudah ditangani oleh bank-bank lainnya.
• Hubungan dengan bank-bank lain (KG: BPK mengatakan relative signifikan, tapi kalau di offset tidak ada unsur sistemik kalau ditutup, karena Aktiva Antar bank 24,28% dan pasiva Antar bank 19,34%, sehingga BC mempunyai Tagihan Neto Antar Bank sebesar 4,94% dari Aktiva BC).
ASPEK PSIKOLOGI PASAR
BI menyimpulkan analisisnya bahwa kerusakan Century berdampak psikologis berupa :
- “ketidakpastian yang tinggi terhadap psikologi pasar/masyarakat”.
- “dapat memicu ketidakpastian/gangguan di pasar keuangan dan sistem perbankan”.
Atas dasar yang tersebut BI menyimpulkan bahwa kegagalan Century bersifat sistemik.
(KKG: Laporan BPK tidak menyebut data dan informasi apa yang dijadikan landasan untuk mengambil kesimpulan tersebut).
PELANGGARAN-PELANGGARAN CENTURY YANG BERPOTENSI MEMBEBANI KEUANGAN NEGARA
• Penggelapan hasil penjualan SSB BC oleh pihak-pihak terkait.
• Hasil penjualan SSB sebesar USD 30,28 milyar (KKG: RP atau USD?) dijadikan jaminan pengambilan kredit oleh pihak terkait (FGAH). Karena kreditnya macet, dana hasil penjualan SSB tersebut di set-off oleh Bank.
• Pemberian kredit fiktif senilai Rp. 397,9 milyar kepada pihak terkait dan pemberian LC fiktif sebesar USD 75,5 juta.
• Manajemen BC diduga melakukan pengeluaran biaya-biaya fiktif senilai Rp. 209,8 milyar dan USD 4,72 juta sejak tahun 2004 s/d Oktober 2008
GAMBARAN UMUM
Ditahun 2003 Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac melakukan merger. Dalam dunia perbankan dan dimasyarakat bisnis pada umumnya, reputasi tiga lembaga tersebut beserta orang-orang yang ada dibelakangnya sudah dikenal sebagai tidak bonafid.
Yang menjadi pertanyaan, apakah BI tidak mengetahui tentang latar belakang bank-bank tersebut maupun orang-orang yang ada dibelakangnya?
Ketua BPK Anwar nasution dikutip oleh Bisnis Indonesia tanggal 16 September 2009 yang mengatakan bahwa “Century Cacat dari lahir karena surat berharga valuta asing yang disebutkan tidak pernah masuk ke Indonesia. Sejak lahir sampai diambil LPS, Century melanggar peraturan terus”.
Laporan resmi BPK yang berjudul “Laporan Kemanjuan Pemeriksaan Investigasi atas Kasus Bank Century” tertanggal 26 September 2009 antara lain bahwa Century telah melanggar peraturan.
DPR menolak PERPU?
Menurut notulen rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008, DPR memutuskan bahwa berkenaan dengan Perpu No. 4 tahun 2008 tentang JPKS, DPR meminta agar pemerintah mengajukan RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebelum tanggal 18 Januari 2009. Keputusan ini tidak memberikan kejelasan apakah Perpu ditolak atau tidak.
We Want JUSTICE
KAMTRI
Sabtu, 28 November 2009
Kamis, 19 November 2009
Fakta di Balik Kriminalisasi KPK, dan Keterlibatan SBY
November 12, 2009 Oleh : Rina Dewreight
Apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.
Agar Anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang baru, menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar biasa. Dia main tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk besan Presiden SBY.
Antasari yang disebut-sebut sebagai orangnya Megawati (PDIP), ini tidak pandang bulu karena siapapun yang terkait korupsi langsung disikat. Bahkan, beberapa konglomerat hitam — yang kasusnya masih menggantung pada era sebelum era Antasari, sudah masuk dalam agenda pemeriksaaanya.
Tindakan Antasari yang hajar kanan-kiri, dinilai Jaksa Agung Hendarman sebagai bentuk balasan dari sikap Kejaksaan Agung yang tebang pilih, dimana waktu Hendraman jadi Jampindsus, dialah yang paling rajin menangkapi Kepala Daerah dari Fraksi PDIP. Bahkan atas sukses menjebloskan Kepala Daerah dari PDIP, dan orang-orang yang dianggap orangnya Megawati, seperti ECW Neloe, maka Hendarman pun dihadiahi jabatan sebagai Jaksa Agung.
Setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman makin resah, karena waktu itu banyak pihak termasuk DPR menghendaki agar kasus BLBI yang melibatkan banyak konglomerat hitam dan kasusnya masih terkatung –katung di Kejaksaan dan Kepolisian untuk dilimpahkan atau diambilalih KPK. Tentu saja hal ini sangat tidak diterima kalangan kejaksaan, dan Bareskrim, karena selama ini para pengusaha ini adalah tambang duit dari para aparat Kejaksaan dan Kepolisian, khususnya Bareskrim. Sekedar diketahui Bareskrim adalah supplier keungan untuk Kapolri dan jajaran perwira polisi lainnya.
Sikap Antasari yang berani menahan besan SBY, sebetulnya membuat SBY sangat marah kala itu. Hanya, waktu itu ia harus menahan diri, karena dia harus menjaga citra, apalagi moment penahanan besannya mendekati Pemilu, dimana dia akan mencalonkan lagi. SBY juga dinasehati oleh orang-orang dekatnya agar moment itu nantinya dapat dipakai untuk bahan kampanye, bahwa seorang SBY tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. SBY terus mendendam apalagi, setiap ketemu menantunya Anisa Pohan , suka menangis sambil menanyakan nasib ayahnya.
Dendam SBY yang membara inilah yang dimanfaatkan oleh Kapolri dan Jaksa Agung untuk mendekati SBY, dan menyusun rencana untuk “melenyapkan” Antasari. Tak hanya itu, Jaksa Agung dan Kapolri juga membawa konglomerat hitam pengemplang BLBI [seperti Syamsul Nursalim, Agus Anwar, Liem Sioe Liong, dan lain-lainnya), dan konglomerat yang tersandung kasus lainnya seperti James Riyadi (kasus penyuapan yang melibatkan salah satu putra mahkota Lippo, Billy Sindoro terhadap oknun KPPU dalam masalah Lipo-enet/Astro, dimana waktu itu Billy langsung ditangkap KPK dan ditahan), Harry Tanoe (kasus NCD Bodong dan Sisminbakum yang selama masih mengantung di KPK), Tommy Winata (kasus perusahaan ikan di Kendari, Tommy baru sekali diperiksa KPK), Sukanto Tanoto (penggelapan pajak Asian Agri), dan beberapa konglomerat lainnya].
Para konglomerat hitam itu berjanji akan membiayai pemilu SBY, namun mereka minta agar kasus BLBI , dan kasus-kasus lainnya tidak ditangani KPK. Jalur pintas yang mereka tempuh untuk “menghabisi Antasari “ adalah lewat media. Waktu itu sekitar bulan Februari- Maret 2008 semua wartawan Kepolisian dan juga Kejaksaan (sebagian besar adalah wartawan brodex – wartawan yang juga doyan suap) diajak rapat di Hotel Bellagio Kuningan. Ada dana yang sangat besar untuk membayar media, di mana tugas media mencari sekecil apapun kesalahan Antasari. Intinya media harus mengkriminalisasi Antasari, sehingga ada alasan menggusur Antasari.
Nyatanya, tidak semua wartawan itu “hitam”, namun ada juga wartawan yang masih putih, sehingga gerakan mengkriminalisaai Antasari lewat media tidak berhasil.
Antasari sendiri bukan tidak tahu gerakan-gerakan yang dilakukan Kapolri dan Jaksa Agung yang di back up SBY untuk menjatuhkannya. Antasari bukannya malah nurut atau takut, justeru malah menjadi-hadi dan terkesan melawan SBY. Misalnya Antasari yang mengetahui Bank Century telah dijadikan “alat” untuk mengeluarkan duit negara untuk membiayai kampanye SBY, justru berkoar akan membongkar skandal bank itu. Antasari sangat tahu siapa saja operator –operator Century, dimana Sri Mulyani dan Budiono bertugas mengucurkan duit dari kas negara, kemudian Hartati Mudaya, dan Budi Sampurna, (adik Putra Sanpurna) bertindak sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan dana di Century, sehingga dapat ganti rugi, dan uang inilah yang digunakan untuk biaya kampanye SBY.
Tentu saja, dana tersebut dijalankan oleh Hartati Murdaya, dalam kapasitasnya sebagai Bendahara Paratai Demokrat, dan diawasi oleh Eddy Baskoro plus Djoko Sujanto (Menkolhukam) yang waktu itu jadi Bendahara Tim Sukses SBY. Modus penggerogotan duit Negara ini biar rapi maka harus melibatkan orang bank (agar terkesan Bank Century diselamatkan pemerintah), maka ditugaskan lah Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri), yang kabarnya akan dijadikan Gubernur BI ini. Agus Marto lalu menyuruh Sumaryono (pejabat Bank Mandiri yang terkenal lici dan korup) untuk memimpin Bank Century saat pemerintah mulai mengalirkan duit 6,7 T ke Bank Century.
Antasari bukan hanya akan membongkar Century, tetapi dia juga mengancam akan membongkar proyek IT di KPU, dimana dalam tendernya dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat). Antasari sudah menjadi bola liar, ia membahayakan bukan hanya SBY tetapi juga Kepolisian, Kejaksaan, dan para konglomerat , serta para innercycle SBY. Akhirnya Kapolri dan Kejaksaan Agung membungkam Antasari. Melalui para intel akhirnya diketahui orang-orang dekat Antasari untuk menggunakan menjerat Antasari.
Orang pertama yang digunakan adalah Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin memang cukup dekat Antasari sejak Antasari menjadi Kajari, dan Nasrudin masih menjadi pegawai. Maklum Nasrudin ini memang dikenal sebagai Markus (Makelar Kasus). Dan ketika Antasari menjadi Ketua KPK, Nasrudin melaporkan kalau ada korupsi di tubuh PT Rajawali Nusantara Indonesia (induk Rajawali Putra Banjaran). Antasari minta data-data tersebut, Nasrudin menyanggupi, tetapi dengan catatan Antasari harus menjerat seluruh jajaran direksi PT Rajawali, dan merekomendasarkan ke Menteri BUMN agar ia yang dipilih menjadi dirut PT RNI, begitu jajaran direksi PT RNI ditangkap KPK.
Antasari tadinya menyanggupi transaksi ini, namun data yang diberikan Nasrudin ternyata tidak cukup bukti untuk menyeret direksi RNI, sehingga Antasari belum bisa memenuhi permintaan Nasrudin. Seorang intel polsi yang mencium kekecewaan Nasrudin, akhirnya mengajak Nasrudin untuk bergabung untuk melindas Antasari. Dengan iming-iming, jasanya akan dilaporkan ke Presiden SBY dan akan diberi uang yang banyak, maka skenario pun disusun, dimana Nasrudin disuruh mengumpan Rani Yulianti untuk menjebak Antasari.
Rupanya dalam rapat antara Kapolri dan Kejaksaan, yang diikuti Kabareskrim. melihat kalau skenario menurunkan Antasari hanya dengan umpan perempuan, maka alasan untuk mengganti Antasari sangat lemah. Oleh karena itu tercetuslah ide untuk melenyapkan Nasrudin, dimana dibuat skenario seolah yang melakukan Antasari. Agar lebih sempurna, maka dilibatkanlah pengusaha Sigit Hario Wibisono. Mengapa polisi dan kejaksaan memilih Sigit, karena seperti Nasrudin, Sigit adalah kawan Antasari, yang kebetulan juga akan dibidik oleh Antasari dalam kasus penggelapan dana di Departemen Sosial sebasar Rp 400 miliar.
Sigit yang pernah menjadi staf ahli di Depsos ini ternyata menggelapakan dana bantuan tsunami sebesar Rp 400 miliar. Sebagai teman, Antasari, mengingatkan agar Sigit lebih baik mengaku, sehingga tidak harus “dipaksa KPK”. Nah Sigit yang juga punya hubungan dekat dengan Polisi dan Kejaksaan, mengaku merasa ditekan Antasari. Di situlah kemudian Polisi dan Kejaksaan melibatkan Sigit dengan meminta untuk memancing Antasari ke rumahnya, dan diajak ngobrol seputar tekana-tekanan yang dilakukan oleh Nasrudin. Terutama, yang berkait dengan “terjebaknya: Antasari di sebuah hotel dengan istri ketiga Nasrudin.
Nasrudin yang sudah berbunga-bunga, tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya dirinyalah yang dijadikan korban, untuk melengserkan Antasari selama-laamnya dari KPK. Dan akhirnya disusun skenario yang sekarang seperti diajukan polisi dalam BAP-nya. Kalau mau jujur, eksekutor Nasrudin buknalah tiga orang yangs sekarang ditahan polisi, tetapi seorang polisi (Brimob ) yang terlatih.
Bibit dan Chandra. Lalu bagaimana dengan Bibit dan Chandra? Kepolisian dan Kejaksaan berpikir dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan melemah. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Bibit dan Chandra , termasuk yang rajin meneruskan pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap, Antasari pesan wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka penelusuran Bank Century dan IT KPU harus diteruskan.
Itulah sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus melakukan penyadapan-penyadapan. Nah saat melakukan berbagai penyadapan, nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sammpoerna sebesar Rp 10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebasar US $ 18 juta atau 180 miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran Susno yang telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu biar seolah–olah duit komisi), duit itu merupakan pembagian dari hasil jarahan Bank Century untuk para perwira Polri. Hal ini bisa dipahami, soalnya polisi kan tahu modus operansi pembobolan duit negara melalui Century oleh inner cycle SBY.
Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan KPK yang intens akan membuka skandal bank Bank Century. Nah, karena dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang.
Nah, saat masih dituduh menyalahgunakan wewenang, rupanya Bibit dan Chandra bersama para pengacara terus melawan, karena alibi itu sangat lemah, maka disusunlah skenario terjadinya pemerasan. Di sinilah Antasari dibujuk dengan iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap (dihukum tapi tidak berat), namun dia harus membuat testimony, bahwa Bibit dan Chandra melakukan pemerasan.
Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang memang dibidik KPK, dijanjikan akan diselsaikan masalahnya Kepolisian dan Jaksa, maka disusunlah berbagai skenario yang melibatkanAnggodo, karena Angodo juga selama ini sudah biasa menjadi Markus. Persoalan menjadi runyam, ketika media mulai mengeluarkan sedikir rekaman yang ada kalimat R1-nya. Saat dimuat media, SBY konon sangat gusar, juga orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan Chandra sangat tahu kasus Bank Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden SBY agar persoalan tidak meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra ditahan. Tanpa diduga, rupanya penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar biasa dari publik maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana untuk menghubungi para pakar hokum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
Demikian, sebetulnya bahwa ujung persoalan adalah SBY, Jaksa Agung, Kapolri, Joko Suyanto, dan para kongloemrat hitam, serta innercycle SBY (pengumpul duit untk pemilu legislative dan presiden). RASANYA ENDING PERSOALAN INI AKAN PANJANG, KARENA SBY PASTI TIDAK AKAN BERANI BERSIKAP. Satu catatan, Anggoro dan Anggodo, termasuk penyumbang Pemilu yang paling besar.
Jadi mana mungkin Polisi atau Jaksa, bahkan Presiden SBY sekalipun berani menagkap Anggodo!
Apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.
Agar Anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang baru, menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar biasa. Dia main tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk besan Presiden SBY.
Antasari yang disebut-sebut sebagai orangnya Megawati (PDIP), ini tidak pandang bulu karena siapapun yang terkait korupsi langsung disikat. Bahkan, beberapa konglomerat hitam — yang kasusnya masih menggantung pada era sebelum era Antasari, sudah masuk dalam agenda pemeriksaaanya.
Tindakan Antasari yang hajar kanan-kiri, dinilai Jaksa Agung Hendarman sebagai bentuk balasan dari sikap Kejaksaan Agung yang tebang pilih, dimana waktu Hendraman jadi Jampindsus, dialah yang paling rajin menangkapi Kepala Daerah dari Fraksi PDIP. Bahkan atas sukses menjebloskan Kepala Daerah dari PDIP, dan orang-orang yang dianggap orangnya Megawati, seperti ECW Neloe, maka Hendarman pun dihadiahi jabatan sebagai Jaksa Agung.
Setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman makin resah, karena waktu itu banyak pihak termasuk DPR menghendaki agar kasus BLBI yang melibatkan banyak konglomerat hitam dan kasusnya masih terkatung –katung di Kejaksaan dan Kepolisian untuk dilimpahkan atau diambilalih KPK. Tentu saja hal ini sangat tidak diterima kalangan kejaksaan, dan Bareskrim, karena selama ini para pengusaha ini adalah tambang duit dari para aparat Kejaksaan dan Kepolisian, khususnya Bareskrim. Sekedar diketahui Bareskrim adalah supplier keungan untuk Kapolri dan jajaran perwira polisi lainnya.
Sikap Antasari yang berani menahan besan SBY, sebetulnya membuat SBY sangat marah kala itu. Hanya, waktu itu ia harus menahan diri, karena dia harus menjaga citra, apalagi moment penahanan besannya mendekati Pemilu, dimana dia akan mencalonkan lagi. SBY juga dinasehati oleh orang-orang dekatnya agar moment itu nantinya dapat dipakai untuk bahan kampanye, bahwa seorang SBY tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. SBY terus mendendam apalagi, setiap ketemu menantunya Anisa Pohan , suka menangis sambil menanyakan nasib ayahnya.
Dendam SBY yang membara inilah yang dimanfaatkan oleh Kapolri dan Jaksa Agung untuk mendekati SBY, dan menyusun rencana untuk “melenyapkan” Antasari. Tak hanya itu, Jaksa Agung dan Kapolri juga membawa konglomerat hitam pengemplang BLBI [seperti Syamsul Nursalim, Agus Anwar, Liem Sioe Liong, dan lain-lainnya), dan konglomerat yang tersandung kasus lainnya seperti James Riyadi (kasus penyuapan yang melibatkan salah satu putra mahkota Lippo, Billy Sindoro terhadap oknun KPPU dalam masalah Lipo-enet/Astro, dimana waktu itu Billy langsung ditangkap KPK dan ditahan), Harry Tanoe (kasus NCD Bodong dan Sisminbakum yang selama masih mengantung di KPK), Tommy Winata (kasus perusahaan ikan di Kendari, Tommy baru sekali diperiksa KPK), Sukanto Tanoto (penggelapan pajak Asian Agri), dan beberapa konglomerat lainnya].
Para konglomerat hitam itu berjanji akan membiayai pemilu SBY, namun mereka minta agar kasus BLBI , dan kasus-kasus lainnya tidak ditangani KPK. Jalur pintas yang mereka tempuh untuk “menghabisi Antasari “ adalah lewat media. Waktu itu sekitar bulan Februari- Maret 2008 semua wartawan Kepolisian dan juga Kejaksaan (sebagian besar adalah wartawan brodex – wartawan yang juga doyan suap) diajak rapat di Hotel Bellagio Kuningan. Ada dana yang sangat besar untuk membayar media, di mana tugas media mencari sekecil apapun kesalahan Antasari. Intinya media harus mengkriminalisasi Antasari, sehingga ada alasan menggusur Antasari.
Nyatanya, tidak semua wartawan itu “hitam”, namun ada juga wartawan yang masih putih, sehingga gerakan mengkriminalisaai Antasari lewat media tidak berhasil.
Antasari sendiri bukan tidak tahu gerakan-gerakan yang dilakukan Kapolri dan Jaksa Agung yang di back up SBY untuk menjatuhkannya. Antasari bukannya malah nurut atau takut, justeru malah menjadi-hadi dan terkesan melawan SBY. Misalnya Antasari yang mengetahui Bank Century telah dijadikan “alat” untuk mengeluarkan duit negara untuk membiayai kampanye SBY, justru berkoar akan membongkar skandal bank itu. Antasari sangat tahu siapa saja operator –operator Century, dimana Sri Mulyani dan Budiono bertugas mengucurkan duit dari kas negara, kemudian Hartati Mudaya, dan Budi Sampurna, (adik Putra Sanpurna) bertindak sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan dana di Century, sehingga dapat ganti rugi, dan uang inilah yang digunakan untuk biaya kampanye SBY.
Tentu saja, dana tersebut dijalankan oleh Hartati Murdaya, dalam kapasitasnya sebagai Bendahara Paratai Demokrat, dan diawasi oleh Eddy Baskoro plus Djoko Sujanto (Menkolhukam) yang waktu itu jadi Bendahara Tim Sukses SBY. Modus penggerogotan duit Negara ini biar rapi maka harus melibatkan orang bank (agar terkesan Bank Century diselamatkan pemerintah), maka ditugaskan lah Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri), yang kabarnya akan dijadikan Gubernur BI ini. Agus Marto lalu menyuruh Sumaryono (pejabat Bank Mandiri yang terkenal lici dan korup) untuk memimpin Bank Century saat pemerintah mulai mengalirkan duit 6,7 T ke Bank Century.
Antasari bukan hanya akan membongkar Century, tetapi dia juga mengancam akan membongkar proyek IT di KPU, dimana dalam tendernya dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat). Antasari sudah menjadi bola liar, ia membahayakan bukan hanya SBY tetapi juga Kepolisian, Kejaksaan, dan para konglomerat , serta para innercycle SBY. Akhirnya Kapolri dan Kejaksaan Agung membungkam Antasari. Melalui para intel akhirnya diketahui orang-orang dekat Antasari untuk menggunakan menjerat Antasari.
Orang pertama yang digunakan adalah Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin memang cukup dekat Antasari sejak Antasari menjadi Kajari, dan Nasrudin masih menjadi pegawai. Maklum Nasrudin ini memang dikenal sebagai Markus (Makelar Kasus). Dan ketika Antasari menjadi Ketua KPK, Nasrudin melaporkan kalau ada korupsi di tubuh PT Rajawali Nusantara Indonesia (induk Rajawali Putra Banjaran). Antasari minta data-data tersebut, Nasrudin menyanggupi, tetapi dengan catatan Antasari harus menjerat seluruh jajaran direksi PT Rajawali, dan merekomendasarkan ke Menteri BUMN agar ia yang dipilih menjadi dirut PT RNI, begitu jajaran direksi PT RNI ditangkap KPK.
Antasari tadinya menyanggupi transaksi ini, namun data yang diberikan Nasrudin ternyata tidak cukup bukti untuk menyeret direksi RNI, sehingga Antasari belum bisa memenuhi permintaan Nasrudin. Seorang intel polsi yang mencium kekecewaan Nasrudin, akhirnya mengajak Nasrudin untuk bergabung untuk melindas Antasari. Dengan iming-iming, jasanya akan dilaporkan ke Presiden SBY dan akan diberi uang yang banyak, maka skenario pun disusun, dimana Nasrudin disuruh mengumpan Rani Yulianti untuk menjebak Antasari.
Rupanya dalam rapat antara Kapolri dan Kejaksaan, yang diikuti Kabareskrim. melihat kalau skenario menurunkan Antasari hanya dengan umpan perempuan, maka alasan untuk mengganti Antasari sangat lemah. Oleh karena itu tercetuslah ide untuk melenyapkan Nasrudin, dimana dibuat skenario seolah yang melakukan Antasari. Agar lebih sempurna, maka dilibatkanlah pengusaha Sigit Hario Wibisono. Mengapa polisi dan kejaksaan memilih Sigit, karena seperti Nasrudin, Sigit adalah kawan Antasari, yang kebetulan juga akan dibidik oleh Antasari dalam kasus penggelapan dana di Departemen Sosial sebasar Rp 400 miliar.
Sigit yang pernah menjadi staf ahli di Depsos ini ternyata menggelapakan dana bantuan tsunami sebesar Rp 400 miliar. Sebagai teman, Antasari, mengingatkan agar Sigit lebih baik mengaku, sehingga tidak harus “dipaksa KPK”. Nah Sigit yang juga punya hubungan dekat dengan Polisi dan Kejaksaan, mengaku merasa ditekan Antasari. Di situlah kemudian Polisi dan Kejaksaan melibatkan Sigit dengan meminta untuk memancing Antasari ke rumahnya, dan diajak ngobrol seputar tekana-tekanan yang dilakukan oleh Nasrudin. Terutama, yang berkait dengan “terjebaknya: Antasari di sebuah hotel dengan istri ketiga Nasrudin.
Nasrudin yang sudah berbunga-bunga, tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya dirinyalah yang dijadikan korban, untuk melengserkan Antasari selama-laamnya dari KPK. Dan akhirnya disusun skenario yang sekarang seperti diajukan polisi dalam BAP-nya. Kalau mau jujur, eksekutor Nasrudin buknalah tiga orang yangs sekarang ditahan polisi, tetapi seorang polisi (Brimob ) yang terlatih.
Bibit dan Chandra. Lalu bagaimana dengan Bibit dan Chandra? Kepolisian dan Kejaksaan berpikir dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan melemah. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Bibit dan Chandra , termasuk yang rajin meneruskan pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap, Antasari pesan wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka penelusuran Bank Century dan IT KPU harus diteruskan.
Itulah sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus melakukan penyadapan-penyadapan. Nah saat melakukan berbagai penyadapan, nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sammpoerna sebesar Rp 10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebasar US $ 18 juta atau 180 miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran Susno yang telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu biar seolah–olah duit komisi), duit itu merupakan pembagian dari hasil jarahan Bank Century untuk para perwira Polri. Hal ini bisa dipahami, soalnya polisi kan tahu modus operansi pembobolan duit negara melalui Century oleh inner cycle SBY.
Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan KPK yang intens akan membuka skandal bank Bank Century. Nah, karena dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang.
Nah, saat masih dituduh menyalahgunakan wewenang, rupanya Bibit dan Chandra bersama para pengacara terus melawan, karena alibi itu sangat lemah, maka disusunlah skenario terjadinya pemerasan. Di sinilah Antasari dibujuk dengan iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap (dihukum tapi tidak berat), namun dia harus membuat testimony, bahwa Bibit dan Chandra melakukan pemerasan.
Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang memang dibidik KPK, dijanjikan akan diselsaikan masalahnya Kepolisian dan Jaksa, maka disusunlah berbagai skenario yang melibatkanAnggodo, karena Angodo juga selama ini sudah biasa menjadi Markus. Persoalan menjadi runyam, ketika media mulai mengeluarkan sedikir rekaman yang ada kalimat R1-nya. Saat dimuat media, SBY konon sangat gusar, juga orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan Chandra sangat tahu kasus Bank Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden SBY agar persoalan tidak meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra ditahan. Tanpa diduga, rupanya penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar biasa dari publik maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana untuk menghubungi para pakar hokum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
Demikian, sebetulnya bahwa ujung persoalan adalah SBY, Jaksa Agung, Kapolri, Joko Suyanto, dan para kongloemrat hitam, serta innercycle SBY (pengumpul duit untk pemilu legislative dan presiden). RASANYA ENDING PERSOALAN INI AKAN PANJANG, KARENA SBY PASTI TIDAK AKAN BERANI BERSIKAP. Satu catatan, Anggoro dan Anggodo, termasuk penyumbang Pemilu yang paling besar.
Jadi mana mungkin Polisi atau Jaksa, bahkan Presiden SBY sekalipun berani menagkap Anggodo!
Selasa, 17 November 2009
Kejahatan Century Gate
GAMBARAN FRAUD DAN KEKALUTAN DALAM MENGHADAPI BANK CENTURY
Oleh Kwik Kian Gie
Yang digambarkan dalam tulisan ini atas dasar pemberitaan, pernyataan dan analisis dari sekian banyaknya orang yang sudah dimuat di berbagai media massa. Kesemuanya itu dirangkai dalam beberapa gambaran dan pertanyaan.
Dengan tidak adanya blanket guarantee di Indonesia, tetapi jaminan maksimum Rp. 2 milyar saja per account, menaruh uang dalam jumlah besar, terutama di bank kecil sangat berbahaya. Tetapi Bank Century (Century) yang begitu kecil dimasuki dana simpanan dalam jumlah sangat besar oleh beberapa deposan besar. Mengapa berani menempatkan uangnya pada bank yang demikian kecilnya? Karena ada maksud tertentu yang tidak sesuai dengan praktek bisnis yang wajar atau karena ada motif politik tertentu, dan karena itu merasa pasti aman, karena deposan mempunyai hubungan khusus dengan penguasa di negeri ini. (simak semua pemberitaan di media massa).
Dugaan mereka ternyata benar. Century rusak karena uang simpanan para deposan besar dicuri/digelapkan oleh para pemegang sahamnya sendiri. Century disuntik oleh LPS empat kali sampai jumlah seluruhnya mencapai Rp. 6,76 trilyun. Dari jumlah ini Rp. 3,8 trilyun dipakai untuk menutupi penarikan oleh deposan besar (Suara Pembaruan, 31 Agustus 2009). Jakarta Post tanggal 2 September 2009 mengutip Budi Armanto, Direktur BI untuk Pengawasan bank yang menyatakan bahwa: “Rp. 5,7 trilyun dari Rp. 9,63 trilyun ditarik dari Century antara November dan Desember 2008.”
Bukankah ini sudah bukti bahwa penyuntikan dana kepada Century tidak untuk menghindari kerusakan perbankan dan perekonomian yang sudah “sistemik”, tetapi untuk menelikung peraturan jaminan maksimum sebesar Rp. 2 milyar saja per account, supaya deposan besar bias menarik depositonya dalam jumlah besar setelah Century rusak dan setalh disuntik dengan dana besar?
Bagaimana yang seharusnya?
Kalau motifnya murni untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian nasional dengan cara menghindari efek domino, tindakan pemerintah bias sebagai berikut: (1) Semua tagihan dari bank dibayar sepenuhnya. (2) Semua tagihan lainnya dibayar sampai jumlah maksimum Rp. 2 milyar sesuai dengan peraturan yang berlaku. (3) Bank Century dilikuidasi.
Tolong dibantah mengapa kebijakan seperti ini tidak bisa dilakukan dan tidak dilakukan?
Kejanggalan Dalam Kewenangan Pimpinan Sangat Tinggi
Pada suatu saat yang krusial, Wapres Jusuf Kalla (JK) yang dalam kasus Century ini berfungsi sebagai Presiden ad interim (a.i.), pada tanggal 25 November 2008 dilapori oleh Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan merangkap Menko Perekonomian Sri Mulyani tentang penyuntikan dana empat kali dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp. 6,7 trilyun. Penyuntikan terakhir sudah dilakukan pada hari Minggu tanggal 23 November 2008. Dari pembicaran itu Presiden a.i. Jusuf Kalla (JK) langsung menyimpulkan rusaknya century karena perampokan uang yang ada di Century oleh para pemegang sahamnya sendiri.
Maka JK langsung mengatakan penyuntikan dana yang sudah dilakukan itu salah kaprah. JK minta Boediono melaporkan kepada Polri dan menangkap pimpinan Century. Boediono menolak dengan alas an tidak mempunyai landasan hokum untuk itu. Sebagai Presiden a.i. dia memerintahkan Polri untuk menangkap pimpinan Century dan memprosesnya lebih lanjut. Ternyata baik Polri maupun Kejaksaan menemukan dasar hukum yang kuat untuk menuntutnya di Pengadilan. Perkaranya sedang berlangsung dengan Jaksa yang menuntut hukuman penjara 8 tahun dan denda Rp. 50 milyar pada Robert Tantular.
Apa artinya? Boediono yang Gubernur BI dan wapres terpilih menganggap tidak ada pelanggaran hokum dalam kasus Century, tetapi Preisden a.i., Polri dan Kejaksaan menganggapnya ada. Bagaimana Boediono mempertanggung jawabkan ini?
Boleh Boediono menolak perintah Presiden walaupun BI independen? Bukankah Gubernur BI yang dipilih oleh DPR hanya mungkin dari calon-calon yang diajukan oleh Presiden? Bukankan kewenangan JK pada tanggal 25 November 2008 sebagai Presiden sepenuhnya SBY ada di luar negeri?
Yang saya tanyakan tadi aspek yuridis dan tata kelola pemerintahan. Tetapi secara moral, patutkah Wapres terpilihnya SBY menolak perintah Presiden a.i. yang memang Presiden ketika itu dan sampai tanggal 20 Oktober 2009 masih Wapresnya SBY?
Bank Bekerja pada hari Minggu?
Penyuntikan terakhir dilakukan pada hari Minggu tanggal 23 November 2008. Bagaimana prosesnya secara terkait perbankan? Apakah demikian mendesaknya kalau motifnya penyelamatan perbankan dan perekonomian nasional? Bukankah urgensinya karena deposan besar harus secepatnya menarik uangnya yang tidak dibatasi 2 milyar per account saja?
Mengapa Burhanuddin Abdullah Dipenjara?
Burhanuddin Abdullah ditangkap, diadili dan divonis 6 tahun penjara yang sedang dijalaninya. Apa sebabnya? Karena dia selaku Gubernur Bank Indonesia membubuhkan tanda tangannya untuk pengeluaran dana sebesar Rp. 100 milyar yang dianggap koruptif. Satu rupiah pun tidak ada yang dinikmatinya. Maka paling-paling dia dianggap gegabah, bodoh atau solider yang kebablasan.
Kalaupun tidak ada motif kecurangan material atau financial, begitu banyak tanda tangan yang ada kaitannya dengan suntikan dana Bank Century sebesar Rp. 7,627 trilyun itu tidak apa-apa kalau diacu dengan apa yang dialami oleh Burhannudin Abdullah dan kawan-kawannya?
Negara Tidak Dirugikan?
Dikatakan bahwa keuangan negara tidak dirugikan karena tidak berasal dari alokasi APBN. Bukankah uang sebesar Rp. 100 milyar yang dijadikan landasan penghukuman Burhannudin Abdullah dan kawan-kawannya juga tidak dari APBN? Bahkan sudah dipisahkan dari BI untuk dimasukkan ke dalam sebuah yayasan? Kok dihukum? Siapa yang dianggap dirugikan? Apakah tidak bias dianalogkan dengan lenyapnya uang LPS melalui Bank century, sehingga yang bersangkutan juga harus dihukum?
Huruf-huruf harafiah versus Substansi
Sri Mulyani berpendapat tidak peduli apa sebabnya kerusakan sebuah bank, kalau sudah “sistemik” harus disuntik dana secukupnya. (yang notabene dipakai untuk membayar deposan besar supaya bisa mendapatkan kembali uangnya seutuhnya yang sudah dicuri oleh pemegang saham Century).
Dradjat Wibowo berpendapat bahwa bank yang kolaps karena dikelola secara sembrono, yang dimanfaatkan pemegang saham secara tidak wajar dan terindikasi penipuan, tidak perlu diselamatkan dengan alas an apapun.
Ginanjar Kartasasmita, mantan Menko EKUIN menyesalkan: “lembaga negara yang harusnya mengawasi dan mensupervisi perbankan malah saling lempar tanggung jawab. Persoalan ini bukan hanya menyangkut penyelamatan sebuah bank atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis, tapi sudah menjadi kebijakan pengelolaan asset negara.” (Rakyat Merdeka, 2 September 2009).
Mana yang relevan buat pengaturan negara? Main pokrol dengan tafsiran harafiah semata ataukah menafsirkan segala sesuatunya atas dasar substansi dan fakta?
Gagasan Blanket Guarantee yang ditolak
Sebelum kerusakan Century ada gagasan supaya pemerintah memberikan blanket guarantee kepada semua deposan di Indonesia. Kalau tidak, masyarakat tidak percaya lagi kepada bank-bank di Indonesia karena perbankan di seluruh dunia sedang terguncang oleh krisis keuangan maha dahsyat di Amerika Serikat. Yang mengusulkan Boediono dan Sri Mulyani. JK menentang keras. Akhirnya terjadi kompromi penjaminan hanya sebatas Rp. 2 milyar per account.
Penelikungannya
Buat para deposan besar di century, batasan penjaminan yang sebesar Rp. 2 milyar per account ditelikung dengan cara-cara yang telah diuraikan di atas.
Landasanya hukumnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) nomor 4 tahun 2008 yang dua hari setelah diajukan ke DPR sudah langsung saja ditolak oleh DPR. Toh sampai saat ini terus menerus dijadikan acuan pengucuran dana besar kepada Century.
Bukan Domain Presiden?
Dalam kasus Century Mensesneg Hatta Rajasa mengatakan bahwa Presiden tak mau mencampuri urusan century, karena urusan ini tidak termasuk di dalam domain-nya.
Apa ada urusan dalam sebuah negara yang bukan monarki konstitusional, yang republic dan lebih-lebih lagi sistemnya presidensiil, seorang presiden tidak boleh ikut campur dalam urusan dan persoalan yang ada adalam domain pejabat lain?
Apakah ada penyelenggaraan negara yang tidak chaotic kalau pemisahan ke dalam Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif ditafsirkan secara mutlak total tanpa adanya bidang-bidang singgungannya?
*) telah dimuat di Suara Pembaruan, Selasa, 8 September 2009 (ini naskah aslinya)
Oleh Kwik Kian Gie
Yang digambarkan dalam tulisan ini atas dasar pemberitaan, pernyataan dan analisis dari sekian banyaknya orang yang sudah dimuat di berbagai media massa. Kesemuanya itu dirangkai dalam beberapa gambaran dan pertanyaan.
Dengan tidak adanya blanket guarantee di Indonesia, tetapi jaminan maksimum Rp. 2 milyar saja per account, menaruh uang dalam jumlah besar, terutama di bank kecil sangat berbahaya. Tetapi Bank Century (Century) yang begitu kecil dimasuki dana simpanan dalam jumlah sangat besar oleh beberapa deposan besar. Mengapa berani menempatkan uangnya pada bank yang demikian kecilnya? Karena ada maksud tertentu yang tidak sesuai dengan praktek bisnis yang wajar atau karena ada motif politik tertentu, dan karena itu merasa pasti aman, karena deposan mempunyai hubungan khusus dengan penguasa di negeri ini. (simak semua pemberitaan di media massa).
Dugaan mereka ternyata benar. Century rusak karena uang simpanan para deposan besar dicuri/digelapkan oleh para pemegang sahamnya sendiri. Century disuntik oleh LPS empat kali sampai jumlah seluruhnya mencapai Rp. 6,76 trilyun. Dari jumlah ini Rp. 3,8 trilyun dipakai untuk menutupi penarikan oleh deposan besar (Suara Pembaruan, 31 Agustus 2009). Jakarta Post tanggal 2 September 2009 mengutip Budi Armanto, Direktur BI untuk Pengawasan bank yang menyatakan bahwa: “Rp. 5,7 trilyun dari Rp. 9,63 trilyun ditarik dari Century antara November dan Desember 2008.”
Bukankah ini sudah bukti bahwa penyuntikan dana kepada Century tidak untuk menghindari kerusakan perbankan dan perekonomian yang sudah “sistemik”, tetapi untuk menelikung peraturan jaminan maksimum sebesar Rp. 2 milyar saja per account, supaya deposan besar bias menarik depositonya dalam jumlah besar setelah Century rusak dan setalh disuntik dengan dana besar?
Bagaimana yang seharusnya?
Kalau motifnya murni untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian nasional dengan cara menghindari efek domino, tindakan pemerintah bias sebagai berikut: (1) Semua tagihan dari bank dibayar sepenuhnya. (2) Semua tagihan lainnya dibayar sampai jumlah maksimum Rp. 2 milyar sesuai dengan peraturan yang berlaku. (3) Bank Century dilikuidasi.
Tolong dibantah mengapa kebijakan seperti ini tidak bisa dilakukan dan tidak dilakukan?
Kejanggalan Dalam Kewenangan Pimpinan Sangat Tinggi
Pada suatu saat yang krusial, Wapres Jusuf Kalla (JK) yang dalam kasus Century ini berfungsi sebagai Presiden ad interim (a.i.), pada tanggal 25 November 2008 dilapori oleh Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan merangkap Menko Perekonomian Sri Mulyani tentang penyuntikan dana empat kali dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp. 6,7 trilyun. Penyuntikan terakhir sudah dilakukan pada hari Minggu tanggal 23 November 2008. Dari pembicaran itu Presiden a.i. Jusuf Kalla (JK) langsung menyimpulkan rusaknya century karena perampokan uang yang ada di Century oleh para pemegang sahamnya sendiri.
Maka JK langsung mengatakan penyuntikan dana yang sudah dilakukan itu salah kaprah. JK minta Boediono melaporkan kepada Polri dan menangkap pimpinan Century. Boediono menolak dengan alas an tidak mempunyai landasan hokum untuk itu. Sebagai Presiden a.i. dia memerintahkan Polri untuk menangkap pimpinan Century dan memprosesnya lebih lanjut. Ternyata baik Polri maupun Kejaksaan menemukan dasar hukum yang kuat untuk menuntutnya di Pengadilan. Perkaranya sedang berlangsung dengan Jaksa yang menuntut hukuman penjara 8 tahun dan denda Rp. 50 milyar pada Robert Tantular.
Apa artinya? Boediono yang Gubernur BI dan wapres terpilih menganggap tidak ada pelanggaran hokum dalam kasus Century, tetapi Preisden a.i., Polri dan Kejaksaan menganggapnya ada. Bagaimana Boediono mempertanggung jawabkan ini?
Boleh Boediono menolak perintah Presiden walaupun BI independen? Bukankah Gubernur BI yang dipilih oleh DPR hanya mungkin dari calon-calon yang diajukan oleh Presiden? Bukankan kewenangan JK pada tanggal 25 November 2008 sebagai Presiden sepenuhnya SBY ada di luar negeri?
Yang saya tanyakan tadi aspek yuridis dan tata kelola pemerintahan. Tetapi secara moral, patutkah Wapres terpilihnya SBY menolak perintah Presiden a.i. yang memang Presiden ketika itu dan sampai tanggal 20 Oktober 2009 masih Wapresnya SBY?
Bank Bekerja pada hari Minggu?
Penyuntikan terakhir dilakukan pada hari Minggu tanggal 23 November 2008. Bagaimana prosesnya secara terkait perbankan? Apakah demikian mendesaknya kalau motifnya penyelamatan perbankan dan perekonomian nasional? Bukankah urgensinya karena deposan besar harus secepatnya menarik uangnya yang tidak dibatasi 2 milyar per account saja?
Mengapa Burhanuddin Abdullah Dipenjara?
Burhanuddin Abdullah ditangkap, diadili dan divonis 6 tahun penjara yang sedang dijalaninya. Apa sebabnya? Karena dia selaku Gubernur Bank Indonesia membubuhkan tanda tangannya untuk pengeluaran dana sebesar Rp. 100 milyar yang dianggap koruptif. Satu rupiah pun tidak ada yang dinikmatinya. Maka paling-paling dia dianggap gegabah, bodoh atau solider yang kebablasan.
Kalaupun tidak ada motif kecurangan material atau financial, begitu banyak tanda tangan yang ada kaitannya dengan suntikan dana Bank Century sebesar Rp. 7,627 trilyun itu tidak apa-apa kalau diacu dengan apa yang dialami oleh Burhannudin Abdullah dan kawan-kawannya?
Negara Tidak Dirugikan?
Dikatakan bahwa keuangan negara tidak dirugikan karena tidak berasal dari alokasi APBN. Bukankah uang sebesar Rp. 100 milyar yang dijadikan landasan penghukuman Burhannudin Abdullah dan kawan-kawannya juga tidak dari APBN? Bahkan sudah dipisahkan dari BI untuk dimasukkan ke dalam sebuah yayasan? Kok dihukum? Siapa yang dianggap dirugikan? Apakah tidak bias dianalogkan dengan lenyapnya uang LPS melalui Bank century, sehingga yang bersangkutan juga harus dihukum?
Huruf-huruf harafiah versus Substansi
Sri Mulyani berpendapat tidak peduli apa sebabnya kerusakan sebuah bank, kalau sudah “sistemik” harus disuntik dana secukupnya. (yang notabene dipakai untuk membayar deposan besar supaya bisa mendapatkan kembali uangnya seutuhnya yang sudah dicuri oleh pemegang saham Century).
Dradjat Wibowo berpendapat bahwa bank yang kolaps karena dikelola secara sembrono, yang dimanfaatkan pemegang saham secara tidak wajar dan terindikasi penipuan, tidak perlu diselamatkan dengan alas an apapun.
Ginanjar Kartasasmita, mantan Menko EKUIN menyesalkan: “lembaga negara yang harusnya mengawasi dan mensupervisi perbankan malah saling lempar tanggung jawab. Persoalan ini bukan hanya menyangkut penyelamatan sebuah bank atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis, tapi sudah menjadi kebijakan pengelolaan asset negara.” (Rakyat Merdeka, 2 September 2009).
Mana yang relevan buat pengaturan negara? Main pokrol dengan tafsiran harafiah semata ataukah menafsirkan segala sesuatunya atas dasar substansi dan fakta?
Gagasan Blanket Guarantee yang ditolak
Sebelum kerusakan Century ada gagasan supaya pemerintah memberikan blanket guarantee kepada semua deposan di Indonesia. Kalau tidak, masyarakat tidak percaya lagi kepada bank-bank di Indonesia karena perbankan di seluruh dunia sedang terguncang oleh krisis keuangan maha dahsyat di Amerika Serikat. Yang mengusulkan Boediono dan Sri Mulyani. JK menentang keras. Akhirnya terjadi kompromi penjaminan hanya sebatas Rp. 2 milyar per account.
Penelikungannya
Buat para deposan besar di century, batasan penjaminan yang sebesar Rp. 2 milyar per account ditelikung dengan cara-cara yang telah diuraikan di atas.
Landasanya hukumnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) nomor 4 tahun 2008 yang dua hari setelah diajukan ke DPR sudah langsung saja ditolak oleh DPR. Toh sampai saat ini terus menerus dijadikan acuan pengucuran dana besar kepada Century.
Bukan Domain Presiden?
Dalam kasus Century Mensesneg Hatta Rajasa mengatakan bahwa Presiden tak mau mencampuri urusan century, karena urusan ini tidak termasuk di dalam domain-nya.
Apa ada urusan dalam sebuah negara yang bukan monarki konstitusional, yang republic dan lebih-lebih lagi sistemnya presidensiil, seorang presiden tidak boleh ikut campur dalam urusan dan persoalan yang ada adalam domain pejabat lain?
Apakah ada penyelenggaraan negara yang tidak chaotic kalau pemisahan ke dalam Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif ditafsirkan secara mutlak total tanpa adanya bidang-bidang singgungannya?
*) telah dimuat di Suara Pembaruan, Selasa, 8 September 2009 (ini naskah aslinya)
Selasa, 10 November 2009
Presiden Teladan dan Termiskin di Dunia
Presiden Iran saat ini:
Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya:
        Â
Â
Â
Â



Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya:
“Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?â€Â Jawabnya: “Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya: “Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran .â€
Berikut adalah gambaran Ahmadinejad yang belum tentu orang ketahui, dan pastiyang membuat orang ternganga dan terheran-heran :
1. Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan Ia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada masjid2 di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.
2. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP, lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive.


3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.
4. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya, arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi, sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.
5. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya
.
6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250.
7. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinyaseorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan. Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya
.
8. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan; roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.

9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat Terbang Kepresidenan, ia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya, ia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.
10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri2 nya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan, dan ia memotong protokoler istana sehingga menteri2 nya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan. Ia juga menghentikan kebiasaan upacara2 seperti karpet merah, sesi foto, atau publikasi pribadi, atau hal2 spt itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya
.
11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut. Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden? Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari pengawal2nya yg selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Menurut koran Wifaq, foto2 yg diambil oleh adiknya tersebut, kemudian dipublikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk amerika.

12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling mukaÂ

13. Bahkan ketika suara azan berkumandang, ia langsung mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa

14. baru-baru ini dia baru saja mempunyai Hajatan Besar Yaitu Menikahkan Puteranya. Tapi pernikahan putra Presiden ini hanya layaknya pernikahan kaum Buruh. Berikut dokumentasi pernikahan Putra Seorang Presiden




Mudah-mudahan di pemilu yang akan datang kita akan memiliki Presiden seperti itu, Amiin . . .
Kamis, 05 November 2009
Menipisnya Legitimasi Neoliberal
Oleh: Rudi Hartono*)
Mitos-mitos neoliberal satu persatu tercampakkan. Setelah rakyat Indonesia menyaksikan kegagalan sistim ini mengatasi persoalan ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dsb), sekarang neoliberal terdiskreditkan soal korupsi
Administratur penyokong neoliberal di Indonesia, pemerintahan SBY-Budiono, baru saja terhempas oleh dua badai besar; kasus century dan kriminalisasi terhadap KPK. Kedua kejadian ini berhubungan erat dengan persoalan penegakan korupsi.
Anti Korupsi
Neoliberal mulai menjadi ideology yang akrab dengan kekuasaan adalah ketika Orde Baru berkuasa. Pada saat itu, neoliberal berusaha keras merangkul orde baru dengan menempatkan sejumlah intelektual dan tehnokrat didikan mereka ke dalam pemerintahan, khususnya di tim ekonomi.
Para intelektual dan teknokrat ini, yang dalam istilah Arif Budiman disebut “teh botol- tehnokrat bodoh dan tolol, mulai menjadi pembisik penting di pemerintahan, dan membangun basis intelektul mereka di sejumlah kampus terkemuka di negeri ini, terutama Universitas Indonesia (UI).
Hanya saja, memang, Soeharto tidak sepenuhnya mengikuti petunjuk mereka. Pada saat itu, menurut Walden Bello, negara menjadi factor kunci dalam kehidupan ekonomi, dengan kontribusi perusahaan negara terhadap GDP sebesar 30% dan setidaknya non-agriculture mencapai 40% GDP. Disamping itu, belanja modal mencapai 47% dari total anggaran pemerintah, sementara negara tetangga lainnya, Philipina, hanya berkisar 16%. Inilah periode yang disebut dengan depelovmentalisme, sebuah pendekatan yang lebih dekat dengan aliran Keynesian.
Setelah Soeharto tumbang, para ekonom neoliberal mengunci perdebatan-perdebatan penting soal asal muasal krisis ekonomi. Menurut mereka, penyebab semua persoalan krisis ini berlokasi pada apa yang disebut “kapitalisme kroni”, atau penggunaan negara sebagai agen untuk memajukan kepentingan swasta kroni atau pebisnis yang dekat dengan sang diktator.
Dari situ, mereka mulai menyerang subsidi dan proteksi sebagai kejahatan ekonomi, dan menempatkan negara sebagai agen jahat dari kelompok kepentingan; rejin korup, parpol, dan pengusaha kroni.
Semenjak itu pula, intelektual neoliberal berkotbah mengenai pentingnya memerangi segala bentuk kapitalisme kroni, khususnya kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pada level politik, mereka menuntut dilakukannya pemberantasan korupsi secara sistematis dan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Ini menyuburkan konsep “clean government” dan “good governance”.
Dalam perkembangannya, neoliberal menghendaki dikurangi orang-orang parpol atau orang-orang yang memangku kepentingan di jabatan eksekutif, dan kemudian digantikan oleh orang-orang bersih dari kepentingan dan professional, yaitu intelektual dan tehnokrat.
Administratur Neolib Kena Batunya
Sebelum menjalani pelantikan pada tanggal 20 Oktober lalu, Wakil Presiden yang ditunjuk mendampingi SBY, Budiono, diduga terlibat dalam skandal perbankan paling memalukan, yaitu kasus century.
Dalam kasus century ini pula, Sri Mulyani, yang menempati deretan tehnokrat terbaik administratur SBY, juga diduga terlibat dalam kasus menggemparkan ini. Meski sudah banyak yang menyebutkan keterlibatan mereka, tetapi kedua orang ini belum pernah diperiksa oleh penegak hukum.
Belum selesai “gempa century” ini menggegerkan dunia penegakan hukum Indonesia, publik kembali dikagetkan dengan perang opensif kepolisian dan kejaksaan untuk membungkam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam rangka memukul mundur KPK, aliansi jahat yang biasa disebut “buaya” mencoba membuat rekayasa untuk mengkriminalkan lembaga ini, dan mengorbankan beberapa orang pimpinan mereka yang berdedikasi, anti korupsi, dan loyal kepada negara.
Tanpa memegang bukti dan alasan yang kuat, Polisi tiba-tiba menangkap dan menahan dua petinggi KPK, Bibit dan Chandra, yang dikenal getol mengobarkan perang melawan koruptor-koruptor klas kakap.
Ketika KPK mulai terpojok, presiden justru tidak memberikan pembelaan sama sekali dan terkesan mendiamkan pertarungan tidak berimbang ini. Publik memaknai ini sebagai pembiaran, sebuah sikap tidak sehat ketika “buaya” mau menerkan “cicak”.
Dan, rupanya, rekaman dan transkrip pembicaraan antara Anggodo Widjojo (adik buron KPK, Anggoro Widjojo) dengan Wisnu Subroto (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen), dan mencatut sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari Polri, Kejagung, hingga RI1 (baca, presiden).
Bukti ini menjelaskan adanya rekayasa terhadap penangkapan dua pimpinan KPK non-aktif, Bibit dan Chandra, dan skandal ini melibatkan sejumlah petinggi kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu, diluar dugaan, presiden dan sekutunya di parlemen sedang berusaha menggolkan RUU Tipikor yang baru. Menurut sejumlah pengamat, RUU ini punya kecenderungan untuk memangkas peranan dan fungsi KPK.
Ini semakin menandaskan posisi yang sebenarnya dari sang presiden mengenai masa depan agenda pemberantasan korupsi. Ketika harapan sebagian besar rakyat dititipkan di KPK, presiden justru mencoba mengeliminasinya.
Hal ini menandaskan beberapa hal; pertama, ketika agenda pemberantasan korupsi sudah mulai menukik dan mulai menyasar sejumlah tokoh di dalam kekuasaan, maka kekuasaan neoliberal mulai membangun tanggul pembatasan untuk menghentikan agenda ini.
kedua, mulai diketahui bahwa agenda pemberantasan korupsi rejim neoliberal adalah bersifat terbatas dan targeting. Artinya, mereka mereka membuat agenda pemberantasan korupsi ini sebatas di arena-arena tertentu dan targetnya pun kadang-kadang politisi dari partai oposisi.
Kemarahan Rakyat
Dalam waktu singkat, kita menyaksikan sebuah gelombang besar kemarahan rakyat sanggup menerobos tembok-tembok tinggi rejim politik korup berkedok “good governance”. Segera setelah berita penahanan Bibit dan Chandra menyebar, dukungan nasional pun mengalir dari segala arah dan berbagai lapisan sosial.
Penguasa pun berharap pada keampuhan trik lama; menjelaskan panjang lebar di media massa. Saat itu, sang penguasa berkeyakinan bahwa dia bisa mengendalikan situasi dan mengatur “mood” massa rakyat melalui penampilan mengesankan, ekspresif, dan nada suara yang diatur di TV dan media massa.
Sayangnya, pidato sang penguasa tidak berhasil membendung kemarahan, malahan semakin menambah kemarahan itu. Penjelasan berulang-kali dari Kapolri pun tidak bisa merasionalisasi keadaan.
Di jejarang sosial dunia maya, Facebook, salah satu group yang dibuat untuk mendukung Bibit dan Chandra langsung mendapatkan ratusan ribu pendukung. Saat menulis artikel ini, jumlah pendukung di group Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto sudah berjumlah 752 ribu orang. Di jejaring sosial lainnya, khususnya Twitter, dukungan besar juga mengalir kepada KPK.
Sejumlah tokoh nasional pun menyatakan keprihatinan. Bahkan, sejumlah intelektual kampus yang selama ini jarang bersuara, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap penahanan ini dan menyesalkan sikap presiden.
Di hari ketiga penahanan Bibit dan Chandra, aksi massa mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia, disertai seruan-seruan umum untuk menggunakan symbol “pita hitam” sebagai bentuk keprihatinan. Di Jakarta, aksi dukungan terhadap KPK terjadi di sejumlah titik, diantaranya di Mabes Polri, kantor KPK, dan bundaran HI.
Memang, kemudian, presiden berhasil menggunakan kartu trupe terakhir, dengan menerima tawaran beberapa pihak untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) untuk mengkalanisasi kemarahan rakyat. Kedepan, TPF ini akan mulai mengambil peran-peran yang dimainkan gerakan protes, dan mulai melokalisir kasus ini pada perdebatan soal penafsiran hukum.
Meskipun begitu, kita patut menghaturkan terima kasih yang begitu besar dukungan melimpah terhadap KPK ini. Ada beberapa hal yang patut dibanggakan; (a). mitos neoliberal sebagai sistem ekonomi yang memerangi korupsi, kapitalisme kroni, dsb, akhirnya terbantahkan juga. Kini neoliberal bergandengan dengan koruptor, dan membangun sebuah rejim politik korup. (b). kredibilitas pemerintahan SBY-Budiono merosot secara drastis. Kedepan, pemerintahan ini akan berhadapan dengan oposisi luas dari masyarakat yang mulai tidak percaya dengan rejim ini. (c). sejumlah lapisan pendukung loyal SBY-Budiono mulai goyah, sebagian sudah bergeser menjadi kritis dan melemparkan mosi tidak percaya terhadap rejim ini.
SBY-Budiono baru 10 hari lebih memulai pemerintahannya, tetapi sebuah embrio oposisi luas mulai mengekspresikan ketidakpercayan. Kejadian ini benar-benar mengikis kredibilitas rejim ini dan sekutu loyalnya di parlemen. ***
*) Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.
Mitos-mitos neoliberal satu persatu tercampakkan. Setelah rakyat Indonesia menyaksikan kegagalan sistim ini mengatasi persoalan ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dsb), sekarang neoliberal terdiskreditkan soal korupsi
Administratur penyokong neoliberal di Indonesia, pemerintahan SBY-Budiono, baru saja terhempas oleh dua badai besar; kasus century dan kriminalisasi terhadap KPK. Kedua kejadian ini berhubungan erat dengan persoalan penegakan korupsi.
Anti Korupsi
Neoliberal mulai menjadi ideology yang akrab dengan kekuasaan adalah ketika Orde Baru berkuasa. Pada saat itu, neoliberal berusaha keras merangkul orde baru dengan menempatkan sejumlah intelektual dan tehnokrat didikan mereka ke dalam pemerintahan, khususnya di tim ekonomi.
Para intelektual dan teknokrat ini, yang dalam istilah Arif Budiman disebut “teh botol- tehnokrat bodoh dan tolol, mulai menjadi pembisik penting di pemerintahan, dan membangun basis intelektul mereka di sejumlah kampus terkemuka di negeri ini, terutama Universitas Indonesia (UI).
Hanya saja, memang, Soeharto tidak sepenuhnya mengikuti petunjuk mereka. Pada saat itu, menurut Walden Bello, negara menjadi factor kunci dalam kehidupan ekonomi, dengan kontribusi perusahaan negara terhadap GDP sebesar 30% dan setidaknya non-agriculture mencapai 40% GDP. Disamping itu, belanja modal mencapai 47% dari total anggaran pemerintah, sementara negara tetangga lainnya, Philipina, hanya berkisar 16%. Inilah periode yang disebut dengan depelovmentalisme, sebuah pendekatan yang lebih dekat dengan aliran Keynesian.
Setelah Soeharto tumbang, para ekonom neoliberal mengunci perdebatan-perdebatan penting soal asal muasal krisis ekonomi. Menurut mereka, penyebab semua persoalan krisis ini berlokasi pada apa yang disebut “kapitalisme kroni”, atau penggunaan negara sebagai agen untuk memajukan kepentingan swasta kroni atau pebisnis yang dekat dengan sang diktator.
Dari situ, mereka mulai menyerang subsidi dan proteksi sebagai kejahatan ekonomi, dan menempatkan negara sebagai agen jahat dari kelompok kepentingan; rejin korup, parpol, dan pengusaha kroni.
Semenjak itu pula, intelektual neoliberal berkotbah mengenai pentingnya memerangi segala bentuk kapitalisme kroni, khususnya kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pada level politik, mereka menuntut dilakukannya pemberantasan korupsi secara sistematis dan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Ini menyuburkan konsep “clean government” dan “good governance”.
Dalam perkembangannya, neoliberal menghendaki dikurangi orang-orang parpol atau orang-orang yang memangku kepentingan di jabatan eksekutif, dan kemudian digantikan oleh orang-orang bersih dari kepentingan dan professional, yaitu intelektual dan tehnokrat.
Administratur Neolib Kena Batunya
Sebelum menjalani pelantikan pada tanggal 20 Oktober lalu, Wakil Presiden yang ditunjuk mendampingi SBY, Budiono, diduga terlibat dalam skandal perbankan paling memalukan, yaitu kasus century.
Dalam kasus century ini pula, Sri Mulyani, yang menempati deretan tehnokrat terbaik administratur SBY, juga diduga terlibat dalam kasus menggemparkan ini. Meski sudah banyak yang menyebutkan keterlibatan mereka, tetapi kedua orang ini belum pernah diperiksa oleh penegak hukum.
Belum selesai “gempa century” ini menggegerkan dunia penegakan hukum Indonesia, publik kembali dikagetkan dengan perang opensif kepolisian dan kejaksaan untuk membungkam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam rangka memukul mundur KPK, aliansi jahat yang biasa disebut “buaya” mencoba membuat rekayasa untuk mengkriminalkan lembaga ini, dan mengorbankan beberapa orang pimpinan mereka yang berdedikasi, anti korupsi, dan loyal kepada negara.
Tanpa memegang bukti dan alasan yang kuat, Polisi tiba-tiba menangkap dan menahan dua petinggi KPK, Bibit dan Chandra, yang dikenal getol mengobarkan perang melawan koruptor-koruptor klas kakap.
Ketika KPK mulai terpojok, presiden justru tidak memberikan pembelaan sama sekali dan terkesan mendiamkan pertarungan tidak berimbang ini. Publik memaknai ini sebagai pembiaran, sebuah sikap tidak sehat ketika “buaya” mau menerkan “cicak”.
Dan, rupanya, rekaman dan transkrip pembicaraan antara Anggodo Widjojo (adik buron KPK, Anggoro Widjojo) dengan Wisnu Subroto (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen), dan mencatut sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari Polri, Kejagung, hingga RI1 (baca, presiden).
Bukti ini menjelaskan adanya rekayasa terhadap penangkapan dua pimpinan KPK non-aktif, Bibit dan Chandra, dan skandal ini melibatkan sejumlah petinggi kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu, diluar dugaan, presiden dan sekutunya di parlemen sedang berusaha menggolkan RUU Tipikor yang baru. Menurut sejumlah pengamat, RUU ini punya kecenderungan untuk memangkas peranan dan fungsi KPK.
Ini semakin menandaskan posisi yang sebenarnya dari sang presiden mengenai masa depan agenda pemberantasan korupsi. Ketika harapan sebagian besar rakyat dititipkan di KPK, presiden justru mencoba mengeliminasinya.
Hal ini menandaskan beberapa hal; pertama, ketika agenda pemberantasan korupsi sudah mulai menukik dan mulai menyasar sejumlah tokoh di dalam kekuasaan, maka kekuasaan neoliberal mulai membangun tanggul pembatasan untuk menghentikan agenda ini.
kedua, mulai diketahui bahwa agenda pemberantasan korupsi rejim neoliberal adalah bersifat terbatas dan targeting. Artinya, mereka mereka membuat agenda pemberantasan korupsi ini sebatas di arena-arena tertentu dan targetnya pun kadang-kadang politisi dari partai oposisi.
Kemarahan Rakyat
Dalam waktu singkat, kita menyaksikan sebuah gelombang besar kemarahan rakyat sanggup menerobos tembok-tembok tinggi rejim politik korup berkedok “good governance”. Segera setelah berita penahanan Bibit dan Chandra menyebar, dukungan nasional pun mengalir dari segala arah dan berbagai lapisan sosial.
Penguasa pun berharap pada keampuhan trik lama; menjelaskan panjang lebar di media massa. Saat itu, sang penguasa berkeyakinan bahwa dia bisa mengendalikan situasi dan mengatur “mood” massa rakyat melalui penampilan mengesankan, ekspresif, dan nada suara yang diatur di TV dan media massa.
Sayangnya, pidato sang penguasa tidak berhasil membendung kemarahan, malahan semakin menambah kemarahan itu. Penjelasan berulang-kali dari Kapolri pun tidak bisa merasionalisasi keadaan.
Di jejarang sosial dunia maya, Facebook, salah satu group yang dibuat untuk mendukung Bibit dan Chandra langsung mendapatkan ratusan ribu pendukung. Saat menulis artikel ini, jumlah pendukung di group Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto sudah berjumlah 752 ribu orang. Di jejaring sosial lainnya, khususnya Twitter, dukungan besar juga mengalir kepada KPK.
Sejumlah tokoh nasional pun menyatakan keprihatinan. Bahkan, sejumlah intelektual kampus yang selama ini jarang bersuara, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap penahanan ini dan menyesalkan sikap presiden.
Di hari ketiga penahanan Bibit dan Chandra, aksi massa mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia, disertai seruan-seruan umum untuk menggunakan symbol “pita hitam” sebagai bentuk keprihatinan. Di Jakarta, aksi dukungan terhadap KPK terjadi di sejumlah titik, diantaranya di Mabes Polri, kantor KPK, dan bundaran HI.
Memang, kemudian, presiden berhasil menggunakan kartu trupe terakhir, dengan menerima tawaran beberapa pihak untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) untuk mengkalanisasi kemarahan rakyat. Kedepan, TPF ini akan mulai mengambil peran-peran yang dimainkan gerakan protes, dan mulai melokalisir kasus ini pada perdebatan soal penafsiran hukum.
Meskipun begitu, kita patut menghaturkan terima kasih yang begitu besar dukungan melimpah terhadap KPK ini. Ada beberapa hal yang patut dibanggakan; (a). mitos neoliberal sebagai sistem ekonomi yang memerangi korupsi, kapitalisme kroni, dsb, akhirnya terbantahkan juga. Kini neoliberal bergandengan dengan koruptor, dan membangun sebuah rejim politik korup. (b). kredibilitas pemerintahan SBY-Budiono merosot secara drastis. Kedepan, pemerintahan ini akan berhadapan dengan oposisi luas dari masyarakat yang mulai tidak percaya dengan rejim ini. (c). sejumlah lapisan pendukung loyal SBY-Budiono mulai goyah, sebagian sudah bergeser menjadi kritis dan melemparkan mosi tidak percaya terhadap rejim ini.
SBY-Budiono baru 10 hari lebih memulai pemerintahannya, tetapi sebuah embrio oposisi luas mulai mengekspresikan ketidakpercayan. Kejadian ini benar-benar mengikis kredibilitas rejim ini dan sekutu loyalnya di parlemen. ***
*) Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.
Langganan:
Postingan (Atom)